Minggu, 09 Maret 2014

Faktor Fisika Kimia Air

FISIKA
Kekeruhan
Kecerahan biasanya menunjukkan tingkat kejernihan aliran air atau kekeruhan aliran air yang diakibatkan oleh unsur-unsur muatan sedimen, baik yang bersifat mineral atau organic. Kekeruhan air dapat dianggap sebagai indicator kemampuan air dalam meloloskan cahaya yang jatuh diatas badan air. Semakin tinggi tingkat kekeruhan air tidak akan mudah ditembus oleh cahaya matahari, tetapi semakin rendah tingkat kekeruhan maka cahaya matahari akan dengan mudah menembus perairan.

Warna
Warna di perairan menunjukkan seberapa besar pencemaran yang telah terjadi pada suatu wilayah perairan. Hal ini disebabkan oleh kandungan TSS ( Total Suspended Solids ).

Bau dan Rasa
Bau dan rasa dipengaruhi oleh gas-gas yang terurai di perairan. Bau dan rasa juga dipengaruhi oleh kandungan zat-zat terlarut yang ada di perairan.

Kedalaman
Adalah ukuran dari dasar sungai ke permukaan sungai. Kedalam di setiap titik sungai berbeda, tergantung dari tipografi lahan.

Suhu
Adalah suhu perairan yang diukur pada saat pengambilan sample, atau pada tempat penelitian secara langsung.

Kecepatan Arus
Kecepatan aliran air pada suatu badan sungai. Kecepatan arus dapat diukur dengan menggunakan alat current meter.

KIMIA
pH (Derajat Keasaman)

Nilai derajat keasaman (pH) suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5 (Effendi, 2003).

Sebagai pengukur sifat keasaman dan kebasaan air dinyatakan dengan nilai pH, yang didefinisikan sebagai logaritma dari pulang baliknya konsentrasi ion hidrogen dalam mol per liter. Air murni pada 24oC ditimbang berkenaan dengan ion-ion H+ dan ion-ion OH- masing-masing mempunyai kandungan 10-7 mol per liter. Dengan demikian pH air murni adalah 7. Air dengan pH di atas 7 bersifat asam. Nilai pH air dapat diukur dengan Potensiometer, yang mengukur potensi listrik yang dibangkitkan oleh ion-ion H+, atau dengan bahan celup penu juk warna, misalnya methyl orange atau phenolphtalein(Suripin,2004).

Derajat  keasaman  menunjukan  aktifitas  ion  hidrogen  dalam  larutan tersebut dan dinyatakan sebagai konsentrasi ion hidrogen (mol/l) pada suhu tertentu atau pH = - log (H+). Konsentrasi pH mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jazad renik. Perairan yang asam cenderung menyebabkan kematian pada ikan. Hal ini disebabkan konsentrasi oksigen akan rendah sehingga, aktifitas pernapasan tinggi dan selera makan berkurang (Ghufron dan Kordi, 2005).

pH air laut umunya berkisar antara 7.6 – 8.3 (Brotowidjoyo, 1995) dan berpengaruh terhadap ikan (Bal and Rao, 1984). pH air laut relatif konstan karena adanya penyangga dari hasil keseimbangan karbon dioksida, asam karbonat, karbonat dan bikarbonat yang disebut buffer (Black, 1986 dalam Shephered and Bromage, 1998). Nilai pH, biasanya dipengaruhi oleh laju fotosintesa, buangan industri serta limbah rumah tangga (Sastrawijaya, 2000).

Dalam suatu perairan nilai pH berada pada kondisi alami, namun konsentrasi pH yang baik untuk ikan kakap putih berkisar antara 7.5- 8.5 (Deptan,1992), untuk ikan salmonidae kisaran pH antara 6.4 - 8.4 (Shephered and Bromage,1988), untuk kerang mutiara kisaran pH antara 7.9 - 8.2 (Winanto, 2004) dan untuk budidaya ikan kerapu kisaran pH antara 7.8 - 8,3 (SNI, 2000).

Kisaran pH dalam perairan alami,  sangat  dipengaruhi oleh konsentrasi karbon dioksida yang merupakan substansi asam. Fitoplankton dan vegetasi perairan lainya menyerap karbon dioksida dari perairan selama proses fotosintesa berlangsung sehingga pH cenderung meningkat pada siang hari dan menurun pada malam hari. Tetapi menurunya pH oleh karbondioksida tidak lebih dari 4.5 (Boyd,1982). Proses nitrifikasi oleh bakteri dapat mengurangi nilai pH perairan karena adanya konsumsi karbonat dan pelepasan ion hidrogen selama proses berlangsung (Soderberg, 1995).

Proses penguraian bahan organik menjadi garam mineral, seperti, amonia, nitrat dan fosfat berguna bagi fitoplankton dan tumbuhan air. Proses akan lebih cepat jika kisaran pH basa dan mantap (Afriyanto dan Liviawaty, 1991).

Menurut Baur dalam Barus (2004) organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. Effendi (2003) menyatakan bahwa pH dapat diklasifikasikan menjadi tiga golongan yaitu pH= 7 (netral), 7

Berdasarkan standar baku mutu air PP No.82 Tahun 2001 (kelas II ), pH yang baik untuk kegiatan budidaya ikan air tawar berkisar antara 6-9 . Kondisi perairan yang bersifat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organism karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolism dan respirasi. Disamping itu pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion alumunium yang bersifat toksik semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kehidupan organism air. Sedangkan pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara ammonium dengan amoniak dalam air akan terganggu.

Menurut Connel (1995) bahwa kotoran organism air yang mengandung ammonia yang dapat meningkatkan derajat keasaman (pH) yakni menjadi basa. Kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi organism. 

Pescod (1973) menyatakan bahwa toleransi jasad perairan terhadap pH air bervariasi tergantung beberapa faktor antara lain suhu, kandungan oksigen terlarut, alkalinitas dan adanya kandungan berbagai anion dan kation. Dan menurut Kackereth et al (1989) dalam Effendi (2003) bahwa pH juga berkaitan erat dengan karbondioksida dan akalinitas.

Salinitas

Toleransi dari organism air terhadap kadar salinitas dapat dibedakan antara stenohalin yaitu organism yang mempunyai kisaran toleransi yang sempit terhadap fluktuasi salinitas dan euryhalin yang merupakan organism yang mempunyai toleransi yang luas (Barus, 2004).

Salinitas merupakan ciri khas perairan pantai atau laut yang membedakannya dengan air tawar. Berdasarkan perbedaan salinitas, dikenal biota yang bersifat stenohaline dan euryhaline. Biota yang mampu hidup pada kisaran yang sempit disebut sebagai biota bersifat stenohaline dan sebaliknya biota yang mampu hidup pada kisaran luas disebut sebagai biota euryhaline (Supriharyono, 2000). Keadaan salinitas akan mempengaruhi penyebaran organisme, baik secara vertikal maupun horizontal. 

Menurut Barnes (1980) pengaruh salinitas secara tidak langsung mengakibatkan adanya perubahan komposisi dalam suatu ekosistem. Menurut Gross (1972) menyatakan bahwa hewan benthos umumnya dapat mentoleransi salinitas berkisar antara 25 – 40 ‰. Pada kelas Polychaeta termasuk golongan biota yang mampu hidup pada kisaran salinitas yang luas. Spio dan Nereis mampu hidup pada kisaran salinitas antara 6 – 24 ppt (Burkovskiy dan Stolyarov, 1996 dalam Junardi, 2001). 

Capitella capitata terdapat melimpah dengan nilai kelimpahan 1296 ind./m² pada kondisi salinitas air 38 ppt (Alcantara dan Weiss, 1991). 

Menurut Budiman dan Dwiono (1986) bahwa gastropoda yang bersifat mobile mempunyai kemampuan untuk bergerak guna menghindari salinitas yang terlalu rendah, namun bivalvia yang bersifat sessile akan mengalami kematian jika pengaruh air tawar berlangsung lama. Selain itu reproduksi dari jenis-jenis gastropoda seperti Littorina scabra sangat dipengaruhi oleh salinitas.

Salinitas adalah konsentrasi ion yang terdapat diperairan. Salinitas menggambarkan padatan total di air setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan dengan klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi (Effendi, 2003).

Salinitas   perairan   menggambarkan   kandungan   garam   dalam   suatu perairan. Garam yang dimaksud adalah berbagai ion yang terlarut dalam air termasuk garam dapur (NaCl). Pada umumnya salinitas disebabkan oleh 7 ion utama yaitu : natrium (Na), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg), klorit (Cl),  sulfat  (SO4)  dan bikarbonat  (HCO3).  Salinitas dinyatakan dalam  satuan gram/kg atau promil (0/00) (Effendi, 2003). Salinitas air laut bebas mempunyai kisaran 30-36 ppt, Sedangkan daerah pantai mempunyai variasi salinitas yang lebih besar. Semua organisme dalam perairan dapat hidup pada perairan yang mempunyai perubahan salinitas kecil (Hutabarat dan Evans, 1995).

Toleransi terhadap salinitas tergantung pada umur stadium ikan. Salinitas berpengaruh terhadap  reproduksi,  distribusi,  lama  hidup  serta  orientasi  migrasi.  Variasi salinitas  pada  perairan  yang  jauh  dari  pantai akan  relatif  kecil  dibandingkan dengan variasi salinitas di dekat pantai, terutama jika pemasukan air air sungai. Perubahan salinitas tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku ikan atau distribusi ikan tetapi pada perubahan sifat kimia air laut. Ikan air  laut  mengatasi kekurangan air  dengan  mengkonsumsi air  laut sehingga kadar garam dalam cairan tubuh bertambah. Dalam mencegah terjadinya dehidrasi akibat proses ini kelebihan garam harus dibatasi dengan jalan mengekskresi klorida lebih banyak lewat insang dan ekskresi lewat urine yang isotonik  (Hoar,  1979). 

Ekosistem Sungai

Sungai merupakan suatu perairan terbuka yang memiliki arus, perbedaan gradien lingkungan, serta masih dipengaruhi daratan. Sungai memiliki beberapa ciri antara lain: memiliki arus, resident time (waktu tinggal air), organisme yang ada memiliki adaptasi biota khusus, substrat umumnya berupa batuan, kerikil, pasir dan lumpur, tidak terdapat stratifikasi suhu dan oksigen, serta sangat mudah mengalami pencemaran dan mudah pula menghilangkannya (Odum, 1996).

Terdapat tiga kondisi yang membedakan sungai dan kolam yaitu: (a) arus di lingkungan sungai menjadi pengontrol utama dan faktor bagi kehidupan organisme yang ada, (b) sungai memiliki hubungan tanah dan air yang relatif lebih luas, sehingga komponen jaring-jaring makanannya sebagian berasal dari luar dan lebih bervariasi, dan (c) sungai mengalami tekanan oksigen yang lebih seragam dengan sedikit atau bahkan tidak ada stratifikasi termal atau pun kimia (Odum, 1971). Secara ekologis menurut Odum (1996) sungai memiliki dua zona utama yaitu:

1. Zona air deras

Daerah yang dangkal dimana kecepatan arus cukup tinggi untuk menyebabkan dasar sungai bersih dari endapan dan materi lain yang lepas, sehingga dasarnya padat. Zona ini dihuni oleh bentos yang beradaptasi khusus yang dapat melekat atau berpegang dengan kuat pada dasar yang padat dan oleh ikan yang kuat berenang.

2. Zona air tenang

Bagian air yang dalam kecepatan arus sudah berkurang, lumpur dan materi lepas cendrung mengendap di dasar, sehingga dasarnya lunak, tidak sesuai untuk bentos permukaan tetapi cocok untuk penggali nekton dan pada beberapa plankton. Pada perairan sungai, biasanya terjadi percampuran masa air secara menyeluruh dan tidak terbentuk stratifikasi vertikal kolom air seperti pada perairan leuntik. Kecepatan arus, erosi, dan sedimentasi merupakan fenomena yang biasa terjadi di sungai sehingga kehidupan flora dan fauna sangat dipengaruhi oleh ketiga variable tersebut. 
Menurut Lablink (2001) bahwa sunga memiliki proses dimana air hujan yang jatuh ke bumi, sebagian menguap kembali menjadi air di udara, sebagian masuk ke dalam tanah, sebagian lagi mengalir di permukaan. Aliran air di permukaan ini kemudian akan berkumpul mengalir ke tempat yang lebih rendah dan membentuk sungai yang kemudian mengalir ke laut. 
Menurut Davis (1980) in Lablink (2001) bahwa sungai dan lembahnya ibarat organisme hidup. Sungai berubah dari waktu ke waktu, mengalami masa muda, dewasa, dan masa tua, yang mana siklus kehidupan sungai dimulai ketika tanah baru muncul diatas permukaan laut. Hujan kemudian mengikisnya dan membuat parit, kemudian parit-parit itu bertemu sesamanya dan membentuk sungai. 
Danau menampung air pada daerah yang cekung, tapi kemudian hilang sebagai sungai dangkal. Kemudian memperdalam salurannya dan mengiris ke dasarnya membentuk sisi yang curam, lembah bentuk V. Anak-anak sungai kemudian tumbuh dari sungai utamanya seperti cabang tumbuh dari pohon. Semakin tua sungai, lembahnya semakin dalam dan anak-anak sungainya semakin panjang. Berikut adalah gambar perubahan penampang sungai (Lablink, 2001).

Gambar 2. Perubahan penampang sungai (Lablink, 2001)

.
                                           
1. Sungai masih bayi : awal                            2. Sungai muda: anak sungai bertambah
terbentuknya sungai, sempit
dan curam


                                

3. Sungai dewasa daerah                         4. Sungai sudah tua sekali
alirannya semakin melebar
dan berkelok


Secara alami, fungsi sungai adalah sebagai penyalur masa hujan yang jatuh di daratan dan mengalir ke laut berdasarkan prinsip garvitasi. Karenanya, bila alur alirannya terganggu (tersumbat), masa airnya akan meluap dan akibatnya akan terjadi banjir.Keadaan sungai di daerah hulu yang terletak di dataran tinggi merupakan daerah rawan erosi dan keadaan sungai di daerah hilir yang terletak didataran rendah merupakan daerah rawan deposisi, sehingga antara kedua daerah tersebut (hulu dan hilir) keadaan perairannya, terutama kualitas airnya berbeda sekali (Payne, 1986).


Ekosistem Danau

Danau

Secara hidrologis sumber atau suplai air danau-danau oxbow dan limpasan banjir lainnya adalah umumnya berasal dari sungai utama.  Memang ada sebagian danau yang sum- ber airnya berasal dari dalam tanah. Sehingga danau-danau tersebut ekologinya sangat di- pengaruhi oleh tingkat konektivitas atau keterbukaannya dengan sungai.  Ukuran penyabaran danau-danau tersebut juga sangat mempengaruhi ekosistemnya.   Kedalaman danau-danau tersebu bervariasi antara 3 – 14 m.  Fluktuasi muka air danau di DAS Kahayan antara mu- sim kemarau dan musim penghujan bisa mencapai 6 m (Aldianor, 2006).


Menurut Hutchinson & Loffler, 1956 dalam Barus, 2004, air danau dapat dibedakan berdasarkan pola pencampuran/sirkulasi. Pencampuran yang terjadi karena adanya beda bobot air pada besaran temperatur yang berbeda. Air dengan bobot yang lebih ringan akan berada di bagian permukaan sedangkan air dengan bobot yang lebih berat akan berada di bagian yang lebih bawah.Pengelompokan danau berdasarkan pola pencampuran/sirkulasi airnya adalah sebagai berikut.
a.         Amiktis
Amiktis yaitu danau yang terdapat di daerah kutub, terutama di antartik dan sebagian kecil di arktik (Greenland) yang secara permanen tertutup oleh salju.

b.        Monomiktis dingin
Monomiktis dingin yaitu danau yang terdapat di daerah kutub dan sub kutub yang mengalami sirkulasi/ pencampuran secara sempurna hanya pada musim panas, sementara pada musim yang lain mengalami stagnasi winter dengan penutupan lapisan salju pada permukaan.

c.         Dimiktis
Dimiktis yaitu danau-danau yang terdapat di daerah temperata di bagian utara dari Amerika Utara yang mengalami sirkulasi sempurna pada saat musim gugur dan musim semi.

d.        Monomiktis panas
Monomiktis panas yaitu danau yang terdapat di daerah subtropis yang mengalami sirkulasi hanya pada musim dingin dan apabila permukaan air cukup mengalami pendinginan misalnya Bodensee yang terdapat di Jerman.

e.         Oligomiktis
Oligomiktis yaitu danau di daerah tropis yang sangat jarang mengalami sirkulasi yang sempurna.

f.         Polimiktis panas
Polimiktis panas yaitu danau di daerah tropis yang mengalami sirkulasi sempurna apabila terjadi penurunan temperatur yang sangat drastis.

g.        Polimiktis dingin
Polimiktis dingin yaitu danau-danau tropis yang terdapat di pegunungan yang tinggi dan selalu mengalami sirkulasi sempurna, umumnya adalah danau-danau yang terdapat pada ketinggian sekitar 3000 meter dpl.

Asal mula danau bermacam-macam, ada yang berasal dari patahan lempeng bumi, gejala vulkan, buatan manusia, dan masih banyak yang lain-lainnya. Oleh karena itu, selain dibedakan berdasarkan pola pencampurannya seperti yang telah diuraikan di depan, danau juga dapat digolongkan berdasarkan proses terjadinya.

Penggolongan tersebut adalah sebagai berikut.
a.         Danau Tektonik
Danau ini terjadi akibat adanya aktivitas/peristiwa tektonik yang mengakibatkan permukaan tanah pada lapisan kulit bumi turun ke bawah membentuk cekung dan akhirnya terisi air. Contohnya yaitu Danau Singkarak, Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat.

b.        Danau Vulkanik
Danau ini terbentuk karena adanya aktivitas gunung berapi. Danau ini biasanya terdapat pada bekas kawah gunung berapi. Contohnya yaitu Danau Batur di Bali.

c.         Danau Tektovulkanik
Danau ini terbentuk karena adanya akivitas tektonisme dan vulkanisme.akibat dua aktivitas ini maka terbentuklah danau tektovulkanik. Contohnya adalah Danau Toba di Sumatera Utara.

d.        Danau Bendungan Alami
Danau ini dapat terbentuk karena aliran lava saat erupsi terjadi yang membendung aliran air sungai. Contohnya adalah Danau Pengilon, pegunungan Dieng, Jawa Tengah.

e.         Danau Karst
Danau ini dijumpai di daerah dominan batu kapur. Danau ini terbentuk akibat pelarutan tanah kapur. Danau ini banyak di temukan di Pegunungan Seribu, Yogyakarta.

f.         Danau Glasial
Danau ini akibat mencairnya es atau keringnya daerah es yang kemudian terisi air.

g.        Danau Buatan
Danau ini dibuat oleh manusia. Danau buatan ini disebut waduk. Contohnya adalah Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri Jateng.

Ekosistem Perairan

Perairan

Perairan disebut danau apabila perairan itu dalam dengan tepi yang umumnya curam. Air danau biasanya bersifat jernih dan keberadaan tumbuhan air terbatas hanya pada daerah pinggir saja. Berdasarkan pada proses terjadinya danau dikenal dengan danau tektonik (terjadi akibat gempa) dan danau vulkanik (akibat aktivitas gunung berapi). Danau tektonik umumnya sangat dalam sedangkan danau vulkanik umumnya memiliki sumber air atau gas panas (Barus, 2004).

Sedangkan ditinjau dari sudut tata air, waduk dan danau berperan sebagai reservoir yang dapat dimanfaatkan airnya untuk keperluan sistem irigasi dan perikanan, sebagai sumber air baku, sebagai tangkapan air untuk pengendalian banjir, serta penyuplai air tanah. Untuk menjamin fungsi waduk dan danau yang tetap optimal dan berkelanjutan, kegiatan pengelolaan harus ditekankan pada upaya pengamanan waduk dan danau juga daerah di sekitarnya. Adanya rambu-rambu yang nyata, pada dasarnya merupakan salah satu faktor yang dapat menghindarkan maupun mengantisipasi permasalahan-permasalahan pemanfaatan waduk dan danau serta daerah sekitarnya yang tidak memperhatikan fungsi ekologis dari waduk dan danau tersebut (Kutarga, 2008).

Ekosistem danau dapat dibedakan menjadi beberapa bagian, yaitu Benthal merupakan zona substrat dasar yang dibagi menjadi zona lithoral dan zona profundal. Litoral merupakan bagian dari zona benthal yang masih dapat ditembus oleh cahaya matahari, sedangkan zona profundal merupakan bagian dari zona benthal di bagian perairan yang dalam dan tidak dapat ditembus oleh cahaya matahari. Zona perairan bebas sampai ke wilayah tepi merupakan habitat nekton dan plankton yang disebut zona pelagial. Selanjutnya dikenal zona pleustal, yaitu zona pada permukaan perairan yang merupakan habitat bagi kelompok neuston dan pleuston (Barus, 2004).

Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang pesat di sekitar danau menimbulkan permasalahan bagi lingkungan  danau, berupa sedimentasi oleh karena pemanfaatan hutan dan berbagai penggunaan lahan di Daerah Aliran Sungai. Perubahan kualitas air mengakibatkan peningkatan hara (eutrofikasi) oleh aktifitas pemupukan lahan pertanian dan pakan yang bersumber dari jaring apung. Peningkatan nutrient tersebut menyebabkan meningkatnya fitoplankton dan gulma bertumbuh pesat. Eutrofikasi dan perubahan kualitas air akan terus terjadi dan meluas sepanjang tahun bila tidak dilakukan pengelolaan / pemulihan (Manu, 2010).

Perairan  pedalaman  (inland  water)  diistilahkan  bagi  semua  badan  air  yang berada di daratan. Ilmu yang mempelajari masalah perairan pedalaman atau perairan umum disebut Limnologi.  Bentuk-bentuk perairan umum tawar alami yang telah dikenal luas ialah sungai (river atau stream), rawa (swamp) dan danau (lake). Selain alami perairan umum juga dapat dibentuk oleh manusia misalnya waduk (resevoir) dari sungai (waduk sunga) maupun dari rawa (waduk rawa).     Air perairan pedalaman umumnya tawar meskipun ada beberapa badan air yang airnya asin; dimana air asin di daratan disebut atha- lassic saline water  (Aldianor, 2006).

Ekosistem air yang terdapat di daratan (inland water) secara umum dibagi atas dua, yaitu perairan lentik (lentik water), atau juga disebut sebagai perairan tenang, misalnya danau, rawa, waduk, situ, telaga dan sebagainya, dan perairan lotik (lotic water), disebut juga sebagai perairan berarus deras, misalnya sungai, kali, kanal, parit dan sebagainya. Perbedaan utama antara perairan lentik dan lotik adalah dalam kecepatan arus air. Perairan lentik mempunyai kecepatan arus yang lambat serta terjadi akumulasi massa air dalam periode waktu yang lama, sementara perairan lotik umumnya mempunyai kecepatan arus yang tinggi, disertai perpindahan massa air yang berlangsung degan cepat (Barus, 2004).

Air menutupi lebih dari 70% permukaan bumi. Sifat-sifat fisika dan kimia air sangat penting dalam ekologi. Air merupakan media pengangkutan yang ideal bagi molekul-molekul melalui tubuh organisme, karena air merupakan pelarut yang kuat tanpa menjadi sangat aktif secara kimia. Tegangan permukaan air yang tinggi menyebabkan pergerakan air melewati organisme, dan juga bertanggung jawab bagi kenaikkan tinggi air tanah. Rapatan air yang nisbi tinggi tidak hanya mendukung bobot tubuh secara sebagian maupun seutuhnya, namun juga memungkinkan hadirnya organisme tersuspensi ( Satino, 2013).

Habitat-habitat perairan dibagi dalam tiga kategori utama, yaitu sistem air tawar, estuarin dan lautan. Walaupun habitat air tawar menempati sebagian kecil dari permukaan bumi  bila  dibandingkan dengan habitat  lainnya,  namun  mempunyai arti  yang  sangat penting.    Sebagai  pelarut  yang  baik,  air mengandung zat-zat  kimia  yang  terlarut  di dalamnya. Penggunaan senyawa ini dalam aktivitas metabolik tumbuhan dan hewan perairan menyebabkan perubuhan susunan kimiawi air, dengan demikian pengetahuan mengenai keadaan ini penting untuk memahami hubungan yang rumit antara komponen – komponen biotik dan anabiotik ( Satino, 2013).

Laut dan Ikan Kami, Indonesia

Laut Indonesia

Luas laut Indonesia yang mencapai 5,8 juta km2, terdiri dari 0,3 juta km2 perairan teritorial, 2,8 juta km2 perairan pedalaman dan kepulauan, 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), serta terdiri lebih dari 17.500 pulau, menyimpan kekayaan yang luar biasa. Jika dikelola dengan baik, potensi kelautan Indonesia diperkirakan dapat memberikan penghasilan lebih dari 100 miliar dolar AS per tahun.

Dasar laut Indonesia sangat kompleks dan tidak ada negara lain yang mempunyai topografi dasar laut begitu beragam seperti Indonesia.   Hampir segala bentuk topografi dasar laut dapat dijumpai, seperti paparan dangkal, terumbu karang, lereng curam maupun landai, gunung api bawah laut, palung laut dalam, basin atau pasu yang terkurung dan lain sebagainya.

Karakteristik ini menjadikan Lautan Indonesia merupakan wilayah Marine Mega-Biodiversity terbesar di dunia, memiliki 8.500 species ikan, 555 species rumput laut dan 950 species biota terumbu karang 
(Sharif, 2013).

Potensi Perikanan Indonesia

Dijelaskan, disisi lain dalam beberapa tahun terakhir, produksi perikanan budidaya mengalami peningkatan lebih tinggi dibandingkan produksi perikanan tangkap, Produksi perikanan budidaya mengalami peningkatan cukup pesat, yaitu dari 47,3 juta ton menjadi 62,7 juta ton. Potensi perikanan budidaya ini akan semakin besar, apabila memasukan potensi budidaya air tawar seperti kolam (541.100 ha), budidaya diperairan umum (158.125 ha) dan mina-padi (1,54 juta ha). 

Disamping itu, potensi perikanan budidaya payau (tambak) mencapai 2,96 juta hektar dan baru dimanfaatkan seluas 682.857 hektar (23,04%) serta potensi budidaya laut yang mencapai luasan 12,55 juta hektar dengan tingkat pemanfaatan yang relatif masih rendah, yaitu sekitar 117.649 hektar atau 0,94 persen. “Produksi perikanan memang tumbuh sangat positif. 

Tercatat, ekspor hasil perikanan telah mengarah pada produksi bernilai tambah, dengan pertumbuhan pada periode 2011 – 2012 sebesar 11,62 persen. Sedangkan nilai impor periode yang sama mengalami penurunan sebesar 15,43 persen.  Dengan demikian, neraca perdagangan perikanan pada tahun 2012 mengalami surplus sebesar US$ 3,52 milyar (Sharif, 2013).
Powered By Blogger