Selasa, 15 April 2014

PENGAMATAN FAKTOR BIOTIK DAN ABIOTIK DI MUARA SUNGAI SICANANG KECAMATAN MEDAN MARELAN KOTA BELAWAN PROVINSI SUMATERA UTARA



PENDAHULUAN




Latar Belakang
Air merupakan sumberdaya alam yang mempunyai fungsi sangat penting bagi kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya serta sebagai modal dasar dalam pembangunan. Dengan perannya yang sangat penting, air akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kondisi/komponen lainnya. Pemanfaatan air untuk menunjang seluruh kehidupan manusia jika tidak dibarengi dengan tindakan bijaksana dalam pengelolaannya akan mengakibatkan kerusakan pada sumberdaya air (Hendrawan, 2005).
            Ekosistem air terdiri dari perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off-shore water) dan perairan laut (sea water). Dari ketiga bagian ekosistem tersebut, perairan laut merupakan bagian yang terbesar. Perairan yang terdapat di daratan umumnya merupakan sistem perairan tawar. Ekosistem air tawar merupakan sumber daya air yang paling praktis dan murah untuk keentingan domestik maupun industri. Selain itu ekosistem air tawar menawarkan sistem pembuangan berbaga jenis limbah yang memadai dan paling murah disalah gunakan manusia dengan membuang segala limbah ke sistem perairan alami tersebut, tanpa melewati proses pengolahan terlebih dahulu   (Barus, 2004).
Sungai adalah perairan yang airnya mengalir secara terus-menerus pada arah tertentu, berasal dari air tanah, air hujan dan air tanah, air hujan dan air permukaan dan akhirnya bermuara kelaut, kesungai atau perairan terbuka yang lebih luas (Kasryea., 2002).
Lingkungan perairan seperti daerah aliran sungai merupakan salah satu lingkungan yang paling sering terkena dampak pencemaran karena hampir semua limbah dibuang ke lingkungan perairan. Hal  ini  karena pada daerah aliran sungai terdapat berbagai pengguna lahan seperti hutan, perkebunan, pertanian lahan kering dan persawahan, pemukiman, perikanan, industri dan sebagainya     (Walsh, Bergman, Narahara, Wood, Wright, Randall, Maina dan Laurent, 1993).
Sedimen dalam suatu badan air baik sungai maupun waduk dan danau merupakan salah satu hasil dari suatu proses-proses yang terjadi pada lingkungan. Proses ini bisa berlangsung secara alami maupun pengaruh dari aktivitas manusia. Pada sedimen terendapkan  berbagai  macam  bahan pencemar  yang semakin  lama  akan terakumulasi, yang mana pada kondisi tertentu bahan pencemar yang sudah terendapkan ini akan dilepaskan kembali ke kolom perairan jika terjadi perubahan terhadap lingkungan. Salah satu upaya mengetahui kualitas sedimen terutama berkaitan dengan bahan pencemar yang terakumulasi adalah dengan menentukan status kontaminasinya (Suryono, dkk, 2010).
Informasi mengenai produktivitas primer  perairan  penting  diketahui sehubungan dengan  peranannya sebagai penyedia  makanan  (produser)  dalam ekosistem perairan, serta perannya sebagai pemasok kandungan oksigen terlarut di perairan (Clark, 1996). Tingkat produktivitas primer suatu perairan memberikan gambaran apakah suatu perairan cukup produktif dalam menghasilkan biomassa tumbuhan, terutama fitoplankton, termasuk pasokan oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis  yang  terjadi,  sehingga mendukung  perkembangan  ekosistem perairan.  Produktivitas perairan yang terlalu tinggi dapat mengindikasikan telah terjadi eutrofikasi, sedangkan yang terlalu rendah dapat memberikan indikasi bahwa perairan tidak produktif atau miskin.  Dalam penelitian ini, produktivitas primer yang dimaksud terutama adalah produktivitas oleh fitoplankton, dan terkait dengan oksigen yang dihasilkannya (Hariadi, dkk, 2010).

Tujuan Praktikum
            Tujuan praktikum ini adalah :
1.      Mengetahui hubungan faktor abiotik dan biotik pada ekosistem sungai.
2.      Mengetahui proses rantai makanan pada ekosistem sungai.

Manfaat Praktikum

            Manfaat dari praktikum ini, yaitu Agar Mahasiswa dapat memahami tentang sungai, hubungan faktor abiotik dan biotik pada ekosistem sungai beserta proses rantai makanan yang terdapat dalam ekosistem sungai.    



TINJAUAN PUSTAKA




Ekosistem Sungai
            Ekosistem air yang terdapat di daratan (inland water) secara umum dibagi atas 2 yaitu perairan lentik (lentic water) atau juga disebut sebagai perairan tenang, misalnya danau, rawa, waduk, situ, telaga, dan sebaginya dan perairan lotik (lotic water) disebut juga sebagai perairan berarus deras, misalnya sungai, kali, kanal, parit, dan sebagainya. Perbedaan utama antara perairan lotik dan lentik adalah dalam kecepatan arus air. Perairan lentik mempunyai kecepatan arus yang lambat serta terjadi akumulasi massa air dalam periode waktu yang lama, sementara perairan lotik umumnya mempunyai kecepatan arus yang tinggi, disertai perpindahan massa air yang berlangsung dengan cepat (Barus, 2004).
Sungai merupakan salah satu ekosistem air tawar yang terdapat di daratan dengan badan air mengalir karena adanya arus air, di mana arus adalah aliran air yang terjadi karena adanya perubahan vertikal persatuan panjang. Sungai juga di tandai dengan adanya anak sungai yang menampung dan menyimpan serta mengalirkan air hujan yang jatuh, kemudian dialirkan ke laut melalui sungai utama (Odum, 1994).
Dapat disimpulkan bahwa sungai adalah bagian dari daratan yang menjadi tempat aliran air yang berasal dari mata air atau curah hujan. Ada bermacam-macam jenis sungai. Berdasarkan sumber airnya sungai dibedakan menjadi tiga macam yaitu:
a. Sungai Hujan, adalah sungai yang airnya berasal dari air hujan atau sumber mata air. Contohnya adalah sungai-sungai yang ada di pulau Jawa dan Nusa Tenggara.
b. Sungai Gletser, adalah sungai yang airnya berasal dari pencairan es. Contoh sungai yang airnya benar-benar murni berasal dari pencairan es saja (ansich) boleh dikatakan tidak ada, namun pada bagian hulu sungai Gangga di India (yang berhulu di Peg. Himalaya) dan hulu sungai Phein di Jerman (yang berhulu di Pegunungan Alpen) dapat dikatakan sebagai contoh jenis sungai ini.
c. Sungai Campuran, adalah sungai yang airnya berasal dari pencairan es (gletser), dari hujan, dan dari sumber mata air. Contoh sungai jenis ini adalah sungai Digul dan sungai Mamberamo di Papua (Irian Jaya) (UNIMED, 2013).
Menurut Syarifuddin, dkk (2000) berdasarkan debitnya sungai dibedakan menjadi 4 macam yaitu:
a. Sungai Permanen, adalah sungai yang debit airnya sepanjang tahun relatif tetap. Contoh sungai jenis ini adalah sungai Kapuas, Kahayan, Barito dan Mahakam di Kalimantan. Sungai Musi, Batanghari dan Indragiri di Sumatera.
b. Sungai Periodik, adalah sungai yang pada waktu musim hujan airnya banyak, sedangkan pada musim kemarau airnya kecil. Contoh sungai jenis ini banyak terdapat di pulau Jawa misalnya sungai Bengawan Solo, dan sungai Opak di Jawa Tengah. Sungai Progo dan sungai Code di Daerah Istimewa Yogyakarta serta sungai Brantas di Jawa Timur.
c. Sungai Episodik, adalah sungai yang pada musim kemarau airnya kering dan pada musim hujan airnya banyak. Contoh sungai jenis ini adalah sungai Kalada di pulau Sumba.
d. Sungai Ephemeral, adalah sungai yang ada airnya hanya pada saat musim hujan. Pada hakekatnya sungai jenis ini hampir sama dengan jenis episodik, hanya saja pada musim hujan sungai jenis ini airnya belum tentu banyak.
Bagian-bagian dari sungai bisa dikategorikan menjadi tiga, yaitu bagian hulu, bagian tengah dan bagian hilir.
a. Bagian Hulu
Bagian hulu memiliki ciri-ciri: arusnya deras, daya erosinya besar, arah erosinya (terutama bagian dasar sungai) vertikal. Palung sungai berbentuk V dan lerengnya cembung (convecs), kadang-kadang terdapat air terjun atau jeram dan tidak terjadi pengendapan.
b. Bagian Tengah
Bagian tengah mempunyai ciri-ciri: arusnya tidak begitu deras, daya erosinya mulai berkurang, arah erosi ke bagian dasar dan samping (vertikal dan horizontal), palung sungai berbentuk U (konkaf), mulai terjadi pengendapan (sedimentasi) dan sering terjadi meander yaitu kelokan sungai yang mencapai 180° atau lebih.
c. Bagian Hilir
Bagian hilir memiliki ciri-ciri: arusnya tenang, daya erosi kecil dengan arah ke samping (horizontal), banyak terjadi pengendapan, di bagian muara kadangkadang terjadi delta serta palungnya lebar.
Air permukaan yang ada seperti sungai dan situ banyak dimanfaatkan untuk keperluan manusia seperti tempat penampungan air, alat transportasi, mengairi sawah dan keperluan peternakan, keperluan industri, perumahan, sebagai daerah tangkapan air, pengendali banjir, ketersediaan air, irigasi, tempat memelihara ikan dan juga sebagai tempat rekreasi. Sebagai tempat penampungan air maka sungai dan situ mempunyai kapasitas tertentu dan ini dapat berubah karena aktivitas alami maupun antropogenik. Sebagai contoh pencemaran sungai dan situ dapat berasal dari (1) tingginya kandungan sedimen yang berasal dari erosi, kegiatan pertanian, penambangan, konstruksi, pembukaan lahan dan aktivitas lainnya; (2) limbah organik dari manusia, hewan dan tanaman (3) kecepatan pertambahan senyawa kimia yang berasal dari aktivitas industri yang membuang limbahnya ke perairan. Ketiga hal tersebut merupakan dampak dari meningkatnya populasi manusia, kemiskinan dan industrialisasi. Penurunan kualitas air akan menurunkan dayaguna, hasil guna, produktivitas, daya dukung dan daya tampung dari sumberdaya air yang pada akhirnya akan menurunkan kekayaan sumberdaya alam. Untuk menjaga kualitas air agar tetap pada kondisi alamiahnya, perlu dilakukan pengelolaan dan pengendalian pencemaran air secara bijaksana (Hendrawan, 2005).

Faktor Biotik Perairan
Menurut Odum (1994) faktor biotik yang meliputi:
1. Produsen, yaitu tumbuhan air yang berakar maupun tumbuhan terapung, besar yang umumnya tumbuh pada air yang dangkal dan fitoplankton (tumbuhan terapung kecil) yang terbesar di seluruh perairan sedalam lapisan yang tembus oleh intensitas cahaya matahari.
2. Organisme-organisme konsumen, seperti zooplankton (konsumen pertama), serangga pemangsa dan ikan-ikan buruan (konsumen ke dua atau ke tiga),  di samping tipe konsumen tersebut juga ada tipe konsumen lain seperti detritivora yang hidup dari cairan hasil pembusukan bahan organik dari lapisan-lapisan ototrofik di atas lainnya.
3. Organisme-organisme saprofage (decomposer), seperti bakteri air, flagellata, cendawan dan hewan-hewan invertebrata air yang tersebar di seluruh perairan.
Nekton yang merupakan organisma air yang mampu bergerak bebas terutama diwakili oleh berbagai jenis ikan yang hidup pada perairan lotik dan lentik. Ikan adalah organisma air yang bernafas dengan insang dan dapat bergerak atau berenang dengan menggunakan sirip (fin). Untuk mengatur keseimbangan, tubuh ikan memiliki alat yang disebut sebagai gurat sisi atau garis lateral (lateral line). Selain ituikan memiliki gelembung udara yang berfungsi sebagai alat mengapung, melayang atau membenamkan diri pada dasar perairan. Ikan tersebar di berbagai jenis perairan di seluruh permukaan bumi dari dasar samudera yang sangat dingin dan gelap dengan tekanan hidrostatis yang sangat tinggi sampai ke daerah-daerah perairan yang memiliki intensitas cahaya matahari yang tinggi. Ikan mempunyai pola adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan, sehingga iakn mempunyai penyebaran yang luas. Hal ini terutama didukung oleh kemampuan mobilitas dari ikan yang tinggi ( Barus, 2004 ).
Plankton adalah organisme yang terapung atau melayang-layang di dalam air yang pergerakannya relatif pasif. Berdasarkan ukurannya plankton dibagi atas : 1) ultra nanoplankton yang ukurannya < 2 µm; 2) nanoplankon yang ukurannya berkisar antara 2-20 µm; 3) mikroplankton berukuran 20-200 µm; 4) mesoplankton berukuran 200-2000 µm; 5) megaplankton yang ukurannya di atas 2000 µm. Penyebaran plankton di dalam air tidak sama pada kedalaman yang berbeda. Tidak samanya penyebaran plankton dalam air disebabkan adanya perbedaan suhu, kadar oksigen, intensitas cahaya matahari, dan faktor-faktor abiotik lainnya di kedalaman air yang berbeda ( Nugroho, 2002 ).
Benthos atau zoobenthos merupakan organisme yang sebagian atau seluruh hidupnya berada di dasar perairan, baik yang sesil, merarap, maupun menggali lubang. Organisme ini memegang peranan penting dalam perairan karena dapat mempercepat proses dekomposisi dan mineralisasi material organik yang memasuki perairan serta menduduki beberapa tingkatan trofik dalam rantai makanan (Odum, 1994).
Berdasarkan ukurannya, benthos dapat digolongkan kedalam kelompok mikroskopik atau mokrozoobenthos dan makrozoobenthos. Diantara benthos yang relatif mudah diidentfikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalh jenis-jenis yang termasuk dalm kelompo inveterbrata makro. Kelompok ini lebh dikenal dengan makrozoobenthos. Ukuran makrozoobenthos mencapai sekuruang-kurangnya 3 hingga 5 mm pada saat pertumbuhan maksimum                                                    ( Suin, 2002 ).
Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut didaerah pasang surut, hutan mangrove atau yang sering disebut hutan bakau merupakan sebagian wilayah ekosistem pantai yang mempunyai karakter unik dan khas dan memiliki potensi kekayaan hayati. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove ( Wijayanti, 2013). Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas dan kedua sebagai individu spesies (Supriharyono, 2000).
 Hutan mangrove merupakan formasi hutan yang tumbuh dan berkembang pada daerah landai di muara sungai dan pesisir pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Oleh karena kawasan hutan mangrove secara rutin digenangi oleh pasang air laut, maka lingkungan (tanah dan air) hutan mangrove bersifat salin dan tanahnya jenuh air. Vegetasi yang hidup di lingkungan salin, baik lingkungan tersebut kering maupun basah, disebut halopita (Onrizal, 2005).
Hutan mangrove merupakan bentuk ekosistem yang unik, karena pada kawasan ini terpadu empat unsur biologis penting yang fundamental, yaitu daratan, air, vegetasi dan satwa. Hutan mangrove ini memiliki ciri ekologis yang khas yaitu dapat hidup dalam air dengan salinitas tinggi dan biasanya terdapat sepanjang daerah pasang surut (Dephut, 1992).
Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang unik menururt Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia (2008) adalah:
       Memiliki jenis pohon yang relatif sedikit.
    Memiliki akar nafas (pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan menjulang pada bakau rhizophora spp., serta akar yang mencuat vertikal seperti pensil pada pidada sonneratia spp. dan pada api-api avicennia spp.
      Memiliki biji yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya, khususnya pada rhizophora yang lebih di kenal sebagai propagul.
       Memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon.

Faktor Abiotik Perairan
Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan akan mempengaruhi sifat-sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luat dari permukaan air. Dengan bertambahnya kedalaman lapisan air intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat mengalami pembiasan yang menyebabkan kolam air yang jernih akan terlihat biru dari permukaan. Pada lapisan dasar, warna air akan berubah menjadi hijau kekuningan, karena intensitas dari warna ini paling baik ditransmisi dalam air sampai ke lapisan dasar. Kondisi optis dalam air selain dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, juga dipengaruhi oleh berbagai substra dan benda lain yang terdapat di dalam air, misalnya oleh plankton dan humin yang terlarut dalam air.  Vegetasi yang ada di sepanjang aliran air juga dapat mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk ke dalam air, karena tumbuh-tumbuhan tersebut juga mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi cahaya matahari. Efek ini terutama akan terliha pada daera-daerah hulu yang aliran airnya umumnya masih kecil dan sempit. Bagi organisma air, intensitas cahaya matahari berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisma tersebut dalam habitatnya ( Barus, 2004 ).
Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi di suatu perairan. Peningkatan suhu menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya O2, CO2, N2, CH4, dan sebagainya (Haslam,  1995 in Effendi, 2003). Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba (Effendi, 2003). Hindarko (2003) menyatakan bahwa kehidupan bakteri dalam air limbah sangat  tergantung pada suhu. Aktivitas mikroorganisme umumnya berlangsung optimal pada kisaran  suhu 15-35 0C. Aktivitas biologis-fisiologis di dalam ekosistem air saugat  dipengaruhi oleh suhu. Menurut hukum Van't Hoffs, kenaikan temperatur sebesar 10 0C akan  meningkatkan  laju  metabolisme, menyebabkan konsumsi oksigen meningkat, serta menyebabkan kelarutan oksigen dalam air menjadi berkurang (Barus, 2002).
Kedalaman perairan mempengaruhi jumlah dan jenis hewan makrobenthos. Kedalaman air juga mempengaruhi kelimpahan dan distribusi hewan makrobenthos. Perairan dengan kedalaman ai yang berbeda akan dihuni oleh makrobenthos yang berbeda pula dan terjadi stratifikasi komunitas yang berbeda. Perairan yang lebih dalam mengakibatkan makrobenthos mendapat tekanan fisiologis dan hidrostatis yang lebih besar (Reish, 1979).  Kedalaman perairan juga mempengaruhi penetrasi sinar matahari ke dalam perairan sehingga secara  tidak langsung akan mempengaruhi kebutuhan oksigen dan pertumbuhan organisme bentik (Sukarno, 1981). 
Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam satuan larutan didefinisikan sebagai logaritma dari resiprokal aktivitas ion hidrogen dan secara matematis dinyatakan sebagai pH=log 1/H­+, dimana H+ adalah banyaknya ion hidrogen dalm mol per liter larutan. Kemampuan air untuk mengikat atau melepaskan sejumlah ion hidrogen akan menunjukan apakah larutan tersebut bersifat asam atau basa (Barus, 2004). Bakteri pada umumnya tumbuh dengan baik pada pH netral dan alkalis pH optimum untuk pertumbuhan bakteri berada pada kisaran 6,5-7,5. Umumnya bakteri tahan terhadap perubahan kecil pH dalam rentang 6-9 (Sidharta, 2000).
Atmosfer bumi mengandung oksigen sekitar 210 ml/liter. Oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan. Kadar oksigen yang terlarut dalam perairan alami bervariasi, tergantung pad suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian (altitude) serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil (Jeffries dan Mills, 1996 in Effendi, 2003). Dissolved Oxygen (DO) merupakan konsentrasi gas oksigen yang terlarut dalam air. Kandungan oksigen terlarut sangat penting bagi biota perairan untuk melangsungkan metabolisme tubuhnya. Selain itu oksigen terlarut juga diperlukan untuk dekomposisi bahan organik. Jika  kandungan  bahan organik tinggi, maka oksigen terlarut yang dibutuhkan untuk mendekomposisi bahan organik tersebut  juga tinggi (Sidharta, 2000).
Nitrogen dan senyawanya tersebar secara luar dalam biosfer. Lapisan atmosfr bumi mengandung sekitar 78% gas nitrogen. Bebatuan juga mengandung nitrogen. Pada tumbuhan dan hewan, senyawa nitrogen ditemukan sebagi penyusun protein dan klorofil (Effendi, 2003).

Rantai Makanan
            Ekosistem sungai dapat merupakan sebuah bioma dari sebuah ekosistem daratan yang besar. Tidak seperti danau yang relatif diam, air sungai mengalir, sehingga tidak mendukung keberadaan komunitas plankton untuk berdiam diri. Namun demikian, terjadi pula fotosintesa dari gangang yang melekat dan tanaman berakar, sehingga dapat mendukung rantai makanan. Di alam terjadi proses makan memakan. Tumbuhan hijau dimakan ulat. Ulat dimakan burung prenjak dan burung prenjak dimakan ulat. Proses makan memakan disebut rantai makanan, karena terdiri atas banyak rantai. Rantai makanan itu bercabang-cabang merupakan jaring-jaring, sehingga disebut jaring-jaring makanan. Materi mengalir dari mata rantai makanan yang satu ke mata rantai yang lain. Apabila makhluk mati, tidak berarti aliran materi terhenti, melainkan makhluk yang mati menjadi makanan makhluk lainnya (Jurnal Pendidikan Penabur, 2002).
Rantai makanan merupakan lintasan konsumsi makanan yang terdiri dari beberapa spesies organisme. Bagian paling sederhana dari suatu rantai makanan berupa interaksi dari suatu rantai makanan berupa interaksi antara spesies mangsa (prey) dengan pemangsa (predator) Model rantai makanan dipengaruhi oleh banyak faktor mulai dari banyaknya spesies yang terlibat maupun penentuan modelnya sehingga diperlukan asumsi-asumsi untuk membatasi pemodelan tentang rantai makanan (Praktiko dan Sunarsih, 2010). 


PENUTUP



Kesimpulan
            Kesimpulan yang diambil dari hasil praktikum adalah sebagai berikut:
1.    Faktor abiotik yang diperoleh, yaitu: cahaya matahari, lumpur, tanah, air, suhu, dan udara.
2.    Faktor biotik berupa pepohonan magrove nekton, benthos yang saling berinteraksi satu dengan yang lain.
3.    Rantai makanan yang terjadi pada sungai di mulai dari serasah yang jatuh kedalam perairan.
4.    Kemudian terdekompsisi dan dimakan oleh fitoplankton, fitoplankton dimakan zooplankton, zooplankton dimakan ikan kecil, ikan kecil dimakan ikan sedang, ikan sedang di makan oleh ikan besar. Ikan besar mati dan terdekomposisi oleh mikroorganisme berupa bakteri.
5.    Bakteri menghasilkan zat-zat hara yang nantinya dilepas ke udara maupun tetap di air hingga dimanfaatkan lagi oleh tumbuhan ataupun fitoplankton sebagai unsur haranya.

Saran
Praktikum tentang Pengamatan Faktor Biotik Dan Abiotik Di Muara Sungai Sicanang Kecamatan Medan Marelan Kota Belawan Provinsi Sumatera Utara diharapkan dapat terus di lanjutkan untuk mengetahui perkembangan lebih lanjut bagaimana keadaan sungai yang akan mendatang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger