Kehadiran misi Protestan dan kolonialisasi di Tanah Karo dimulai ketika seorang zendeling dari badan NZG dan beberapa orang dari Minahasa pada tahun 1890. Setelah melihat situasi yang ada, lalu mereka membuat tempat perhentian di Buluhawar, sebuah kampung yang terdiri dari dua ratus rumah tangga, sekitar lima puluh kilometer sebelah selatan kota Medan. Di sinilah kemudian dibangun sekolah yang pertama, akan tetapi kekristenan belum diterima oleh orang Karo pada masa itu. Baru ketika H.C. Kruyt digantikan oleh J.K. Wijngaarden yang dipindahkan dari Sawu, Indonesia Timur, melakukan pembaptisan pertama terhadap enam orang Karo pada bulan Agustus 1893. Kemudian kekristenan ini berkembang walaupun menghadapi tantangan karena pada waktu itu. Setiap orang Karo yang menjadi Kristen memiliki dua tantangan, yaitu mengkomunikasikan kepercayaan orang Kristen bagi mereka yang masih hidup dalam agama awal dan mengajak orang-orang Karo untuk tidak memandang Kristen itu secara otomatis adalah Belanda Hitam.
Misi Kristen di Tanah Karo tahun 1890-1942 secara signifikan dapat dilihat melalui komunikasi-komunikasi orang Eropa, melalui misi yang memperkenalkan teknologi, mempelajari bahasa, dan pendidikan. Semua ini merupakan sumbangan yang berharga dari para misionaris kepada orang-orang Karo. Demikanlah pada akhirnya masyarakat Karo sebagian dipengaruhi oleh kekristenan, ini sangat terlihat dengan bagaimana Zending membentuk persekutuan orang muda Karo, kemudian juga mencetak tenaga pendeta melalui sekolah-sekolah di Sipoholon, dan membentuk klasis yang pada akhirnya bertumbuh menjadi Sinode. Tahun 1940 setelah lima puluh tahun aktivitas misionaris di Tanah Karo, hanya ada sekitar lima ribu orang Karo yang dibaptis yang dilayani oleh misionaris NZG dan tiga puluh delapan guru evangelis Karo. Perkembangan misi yang lebih sukses terjadi ketika perang dunia ke II berakhir. Dalam kongres sejarah budaya Karo 1958 disimpulkan, ketika misionaris mengakhiri karyanya dan menghasilkan berbagai hal-hal yang berkembang, sedikit banyak telah membuat keberhasilan bagi orang-orang lokal.
Selain masuknya Protestan di Tanah Karo, Katolik yang masuk ke Tanah Karo juga berkembang. Misi Katolik yang ditujukkan ke daerah Simalungun, Dairi adalah dasar pendekatan yang pada akhirnya menyentuh Tanah Karo. Misi Katolik di Tanah Karo kemudian dihentikan oleh Jepang. Hal ini disebabkan karena hampir semua imam-imam Belanda tidak boleh diizinkan lagi menjalankan pekerjaannya sepanjang revolusi, dan komunitas Katolik Batak sepanjang periode ini sesekali didatangi oleh imam dari Jawa. Dalam periode ini pengajaran hanya dilakukan pada saat-saat tertentu dilakukan oleh seorang imam yang berasal dari Jawa. Baru setelah tahun 1947 dimulailah misi yang sebenarnya di Tanah Karo.Dalam perjuangan revolusi untuk kesatuan bangsa dan kebebasan, seperti sebuah pekerjaan yang mendorong partisipasi orang Karo Kristen untuk ikut ambil bagian, dengan kesetiaan kepada bangsa yang baru dan untuk mewujudnyatakan sebuah bangsa yang ideal. Sepanjang revolusi sosial tahun 1946, sebagian orang Karo Kristen menderita. Pdt. Pasaribu dan Guru Agama Simatupang ditangkap oleh orang lain di Lingga dan dibunuh oleh anggota-anggota dari Barisan Harimau Liar, yang sepanjang tahun 1946 melakukan pesta pembantaian di Tanah Karo. Pa Rita Tarigan juga dibunuh oleh orang tak dikenal di Kabanjahe karena diduga bersekutu dengan Belanda. Banyak orang Kristen yang lain juga mengalami penderitaan kekerasan karena diduga mendukung rezim kolonial.
Ketika tentara Belanda memasuki dataran tinggi Karo pada bulan Juli dan Agustus 1947, semasa konflik pertama, pemimpin GBKP menolak untuk mengakui kebenaran campur tangan kolonial dan menolak ijin kepada seorang militer Belanda berkhotbah di GBKP, walaupun ia adalah seorang mantan misionari dan fasih berbahasa Karo. Ketika sinode membuat keputusan formal, pemimpin gereja itu dan jemaat-jemaat Kristen mengambil posisi yang pro-republik, berdoa pada hari Minggu untuk perjuangan republik, di mana banyak anggota gereja yang juga secara aktif termasuk di dalamnya. Sepertinya, gambaran pro-kolonial gereja menjadi ancaman bagi beberapa anggotanya dalam memperjuangkan kebebasan republik. Begitulah seterusnya, untuk menjaga keamanannya, maka gereja turut berperan dalam perjuangan bangsa, sehingga ia tidak dipandang sebagai bagian dari pendukung kolonial.
(Sumber: Website gbkpjakartapusat.org)
Misi Kristen di Tanah Karo tahun 1890-1942 secara signifikan dapat dilihat melalui komunikasi-komunikasi orang Eropa, melalui misi yang memperkenalkan teknologi, mempelajari bahasa, dan pendidikan. Semua ini merupakan sumbangan yang berharga dari para misionaris kepada orang-orang Karo. Demikanlah pada akhirnya masyarakat Karo sebagian dipengaruhi oleh kekristenan, ini sangat terlihat dengan bagaimana Zending membentuk persekutuan orang muda Karo, kemudian juga mencetak tenaga pendeta melalui sekolah-sekolah di Sipoholon, dan membentuk klasis yang pada akhirnya bertumbuh menjadi Sinode. Tahun 1940 setelah lima puluh tahun aktivitas misionaris di Tanah Karo, hanya ada sekitar lima ribu orang Karo yang dibaptis yang dilayani oleh misionaris NZG dan tiga puluh delapan guru evangelis Karo. Perkembangan misi yang lebih sukses terjadi ketika perang dunia ke II berakhir. Dalam kongres sejarah budaya Karo 1958 disimpulkan, ketika misionaris mengakhiri karyanya dan menghasilkan berbagai hal-hal yang berkembang, sedikit banyak telah membuat keberhasilan bagi orang-orang lokal.
Selain masuknya Protestan di Tanah Karo, Katolik yang masuk ke Tanah Karo juga berkembang. Misi Katolik yang ditujukkan ke daerah Simalungun, Dairi adalah dasar pendekatan yang pada akhirnya menyentuh Tanah Karo. Misi Katolik di Tanah Karo kemudian dihentikan oleh Jepang. Hal ini disebabkan karena hampir semua imam-imam Belanda tidak boleh diizinkan lagi menjalankan pekerjaannya sepanjang revolusi, dan komunitas Katolik Batak sepanjang periode ini sesekali didatangi oleh imam dari Jawa. Dalam periode ini pengajaran hanya dilakukan pada saat-saat tertentu dilakukan oleh seorang imam yang berasal dari Jawa. Baru setelah tahun 1947 dimulailah misi yang sebenarnya di Tanah Karo.Dalam perjuangan revolusi untuk kesatuan bangsa dan kebebasan, seperti sebuah pekerjaan yang mendorong partisipasi orang Karo Kristen untuk ikut ambil bagian, dengan kesetiaan kepada bangsa yang baru dan untuk mewujudnyatakan sebuah bangsa yang ideal. Sepanjang revolusi sosial tahun 1946, sebagian orang Karo Kristen menderita. Pdt. Pasaribu dan Guru Agama Simatupang ditangkap oleh orang lain di Lingga dan dibunuh oleh anggota-anggota dari Barisan Harimau Liar, yang sepanjang tahun 1946 melakukan pesta pembantaian di Tanah Karo. Pa Rita Tarigan juga dibunuh oleh orang tak dikenal di Kabanjahe karena diduga bersekutu dengan Belanda. Banyak orang Kristen yang lain juga mengalami penderitaan kekerasan karena diduga mendukung rezim kolonial.
Ketika tentara Belanda memasuki dataran tinggi Karo pada bulan Juli dan Agustus 1947, semasa konflik pertama, pemimpin GBKP menolak untuk mengakui kebenaran campur tangan kolonial dan menolak ijin kepada seorang militer Belanda berkhotbah di GBKP, walaupun ia adalah seorang mantan misionari dan fasih berbahasa Karo. Ketika sinode membuat keputusan formal, pemimpin gereja itu dan jemaat-jemaat Kristen mengambil posisi yang pro-republik, berdoa pada hari Minggu untuk perjuangan republik, di mana banyak anggota gereja yang juga secara aktif termasuk di dalamnya. Sepertinya, gambaran pro-kolonial gereja menjadi ancaman bagi beberapa anggotanya dalam memperjuangkan kebebasan republik. Begitulah seterusnya, untuk menjaga keamanannya, maka gereja turut berperan dalam perjuangan bangsa, sehingga ia tidak dipandang sebagai bagian dari pendukung kolonial.
(Sumber: Website gbkpjakartapusat.org)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar