This lake is located at the foot of Mount Sinabung Tanah Karo, about 50 km from the city of Medan. Compared with the broad reach of Lake Toba 1265 square kilometers, Lake Lau Kawar wide with only 200 hectares of what is that. However, Lau Kawar actually have a charm that no less beautiful than the Toba of the world already.Lake water is clear and calm, and the air is cool, is greeting the first time to reach this lake.To feel the beauty of the more time standing at the lakeside.In addition to the water is clean and quiet, rimbunan trees encircle the lake is a distinctive charm. Incessant clearing in the middle of the wild, in fact there is still a relatively sustainable forests.
Lake Lau Kawar in Gugung Kuta Village, Kecamatan Simpang Empat, Karo District, North Sumatra, is one of two lakes in the Leuser Ecosystem Area (KEL), in addition to Lake Marpunge.
This lake is one of the main gate of the climber to reach the summit of Mount Sinabung which has a height of 2451 meter dpl. So far, the highest mountain in North Sumatra is one of the favorites for the mountain climber.
In addition, Deleng (hill) Lancuk located in the vicinity of Lake Lau Kawar can also be tracking the path for the captivating holiday that do not want to bother climbing Sinabung.
And terrain around the lake can be a favorite place to stay with the tent up during the ascent to Mount Sinabung.
Kamis, 18 Juni 2009
Minggu, 14 Juni 2009
DELENG LANCUK
Hutan Wisata Deleng Lancuk adalah nama sebuah bukit yang berada didalam kawasan Hutan Sibayak II (Sinabung) dengan luas 435 Ha. Termasuk Danau Lau Kawar telah ditunjuk menjadi TWA sesuai dengan SK Menteri Kehutanan No.08/Kpts/II/1989 tanggal 6 Pebruari 1989. secara administratif pemerintahan kawasan hutan wisata ini terletak di Desa Lau Kawar Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Daerah Tingkat II Tanah Karo. Untuk menuju lokasi ini dapat ditempuh dari Medan melalui Kabanjahe ± 1 1/2 jam, selain itu dapat juga ditempuh dari Kota Pematang Siantar melewati pinggiran Danau Toba yang sudah tentu membuat perjalanan ini mengasyikkan.
Potensi TWA Deleng Lancuk:
Flora Fauna Potensi flora/tumbuhan yang terdapat dikawasan TWA Deleng Lancuk didominasi oleh jenis keliung (Quercus sp), Castanopsis sp dan jenis ficus. Pada pingggiraan danau (tebing) banyak dijumpai berbagai jenis anggrek pohon dengan bunga-bungaan yang indah. Sedangkan fauna yang dapat kita jumpai antara lain: Rusa rawa (Cervus unicolor), Owa (Hylobates moloch), Musang (Paradoxumus hermaprodicus), Kambing hutan (Naemorhaedus sumatrensis) dan Burung Enggang (Buceros sp).
Flora Fauna Potensi flora/tumbuhan yang terdapat dikawasan TWA Deleng Lancuk didominasi oleh jenis keliung (Quercus sp), Castanopsis sp dan jenis ficus. Pada pingggiraan danau (tebing) banyak dijumpai berbagai jenis anggrek pohon dengan bunga-bungaan yang indah. Sedangkan fauna yang dapat kita jumpai antara lain: Rusa rawa (Cervus unicolor), Owa (Hylobates moloch), Musang (Paradoxumus hermaprodicus), Kambing hutan (Naemorhaedus sumatrensis) dan Burung Enggang (Buceros sp).
WisataHutan Wisata Deleng Lancuk dan Danau Kawar memiliki potensi kepariwisataan yang sangat tinggi berupa kombinasi antara pepohonan berbuah dengan danau yang berair jernih. Disamping itu keadaan cuaca sejuk yang dipengaruhi oleh hembusan angin pegunungan segar membuat perasaan kita bila berada di lokasi ini semakin nyaman. Selain itu dilokasi ini juga terdapat sarana dan prasarana yang memadai sehingga lokasi ini sering dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun asing untuk berbagai kegiatan pariwisata alam.
GURO GURO ARON
Guro-guro aron berasal dari dua kata, yaitu: guro-guro dan aron. Guro-guro berarti hiburan atau pesta, sedangkan aron berarti muda-mudi. Jadi guro-guro aron adalah suatu pesta muda-mudi yang dilaksanakan berdasarkan adat dan kebudayaan Karo, dengan memakai musik karo dan perkolong-kolong. Adapun perlengkapan musik karo yang dipakai untuk itu adalah: sarune, gendang (singindungi dan singanaki), gung dan penganak. Akan tetapi dewasa ini gendang guro-guro aron ini ada kalanya diiringi dengan keyboard. Sementara perkolong-kolong terdiri dari seorang perempuan dan seorang laki-laki yang menyanyi mengiringi aron (muda-mudi) menari. Menurut cerita sebelumnya dikenal dengan nama permangga-mangga, yang menyanyi dari satu desa ke desa lainnya.
Adapun fungsi guro-guro aron itu pada masyarakat Karo adalah sebagai :
1. Latihan Kepemimpinan (Persiapan Suksesi).
Maksudnya, bahwa dalam guro-guro aron, muda-mudi dilatih memimpin, mengatur, mengurus pesta tersebut. Untuk itu ada yang bertugas sebagai pengulu aron, bapa aron atau nande aron. mereka dengan mengikuti guro-guro aron ini dipersiapkan sebagai pemimpin desa (kuta) dikemudian hari.
2. Belajar Adat Karo.
Dalam melaksanakan guro-guro aron, muda-mudi juga belajar tentang adat Karo. Misalnya bagaimana cara ertutur, mana yang boleh teman menari, mana yang boleh menurut adat atau mana yang tidak boleh dilakukan dan lain-lain.
3. Hiburan.
Guro-guro aron juga berfungsi sebagai alat hiburan bagi peserta dan penduduk kampung. Malahan pada waktu itu penduduk kampung, dan tetangga kampung lain juga biasanya hadir.
4. Metik (tata rias).
Dengan diselenggarakannya guro-guro aron, maka muda-mudi, yakni anak perana dan singuda-nguda belajar tata rias (metik) guna mempercantik diri. Mereka belajar melulur diri, membuat tudung atau bulang-bulang dan lain sebagainya.
5. Belajar Etika.
Dalam melaksanakan guro-guro aron ini, anak perana dan singuda-nguda juga belajar etika atau tata krama pergaulan hidup dengan sesamanya.
6. Arena cari Jodoh.
Guro-guro aron juga dimaksudkan sebagai arena cari jodoh bagi anak perana dan singuda-nguda. Oleh karena itu adakalanya pelaksanaannya didorong oleh orang-orang tua, karena melihat banyak perawan tua dan lajang tua di kampungnya.
Adapun fungsi guro-guro aron itu pada masyarakat Karo adalah sebagai :
1. Latihan Kepemimpinan (Persiapan Suksesi).
Maksudnya, bahwa dalam guro-guro aron, muda-mudi dilatih memimpin, mengatur, mengurus pesta tersebut. Untuk itu ada yang bertugas sebagai pengulu aron, bapa aron atau nande aron. mereka dengan mengikuti guro-guro aron ini dipersiapkan sebagai pemimpin desa (kuta) dikemudian hari.
2. Belajar Adat Karo.
Dalam melaksanakan guro-guro aron, muda-mudi juga belajar tentang adat Karo. Misalnya bagaimana cara ertutur, mana yang boleh teman menari, mana yang boleh menurut adat atau mana yang tidak boleh dilakukan dan lain-lain.
3. Hiburan.
Guro-guro aron juga berfungsi sebagai alat hiburan bagi peserta dan penduduk kampung. Malahan pada waktu itu penduduk kampung, dan tetangga kampung lain juga biasanya hadir.
4. Metik (tata rias).
Dengan diselenggarakannya guro-guro aron, maka muda-mudi, yakni anak perana dan singuda-nguda belajar tata rias (metik) guna mempercantik diri. Mereka belajar melulur diri, membuat tudung atau bulang-bulang dan lain sebagainya.
5. Belajar Etika.
Dalam melaksanakan guro-guro aron ini, anak perana dan singuda-nguda juga belajar etika atau tata krama pergaulan hidup dengan sesamanya.
6. Arena cari Jodoh.
Guro-guro aron juga dimaksudkan sebagai arena cari jodoh bagi anak perana dan singuda-nguda. Oleh karena itu adakalanya pelaksanaannya didorong oleh orang-orang tua, karena melihat banyak perawan tua dan lajang tua di kampungnya.
PROSES PERUBAHAN AGAMA
Kehadiran misi Protestan dan kolonialisasi di Tanah Karo dimulai ketika seorang zendeling dari badan NZG dan beberapa orang dari Minahasa pada tahun 1890. Setelah melihat situasi yang ada, lalu mereka membuat tempat perhentian di Buluhawar, sebuah kampung yang terdiri dari dua ratus rumah tangga, sekitar lima puluh kilometer sebelah selatan kota Medan. Di sinilah kemudian dibangun sekolah yang pertama, akan tetapi kekristenan belum diterima oleh orang Karo pada masa itu. Baru ketika H.C. Kruyt digantikan oleh J.K. Wijngaarden yang dipindahkan dari Sawu, Indonesia Timur, melakukan pembaptisan pertama terhadap enam orang Karo pada bulan Agustus 1893. Kemudian kekristenan ini berkembang walaupun menghadapi tantangan karena pada waktu itu. Setiap orang Karo yang menjadi Kristen memiliki dua tantangan, yaitu mengkomunikasikan kepercayaan orang Kristen bagi mereka yang masih hidup dalam agama awal dan mengajak orang-orang Karo untuk tidak memandang Kristen itu secara otomatis adalah Belanda Hitam.
Misi Kristen di Tanah Karo tahun 1890-1942 secara signifikan dapat dilihat melalui komunikasi-komunikasi orang Eropa, melalui misi yang memperkenalkan teknologi, mempelajari bahasa, dan pendidikan. Semua ini merupakan sumbangan yang berharga dari para misionaris kepada orang-orang Karo. Demikanlah pada akhirnya masyarakat Karo sebagian dipengaruhi oleh kekristenan, ini sangat terlihat dengan bagaimana Zending membentuk persekutuan orang muda Karo, kemudian juga mencetak tenaga pendeta melalui sekolah-sekolah di Sipoholon, dan membentuk klasis yang pada akhirnya bertumbuh menjadi Sinode. Tahun 1940 setelah lima puluh tahun aktivitas misionaris di Tanah Karo, hanya ada sekitar lima ribu orang Karo yang dibaptis yang dilayani oleh misionaris NZG dan tiga puluh delapan guru evangelis Karo. Perkembangan misi yang lebih sukses terjadi ketika perang dunia ke II berakhir. Dalam kongres sejarah budaya Karo 1958 disimpulkan, ketika misionaris mengakhiri karyanya dan menghasilkan berbagai hal-hal yang berkembang, sedikit banyak telah membuat keberhasilan bagi orang-orang lokal.
Selain masuknya Protestan di Tanah Karo, Katolik yang masuk ke Tanah Karo juga berkembang. Misi Katolik yang ditujukkan ke daerah Simalungun, Dairi adalah dasar pendekatan yang pada akhirnya menyentuh Tanah Karo. Misi Katolik di Tanah Karo kemudian dihentikan oleh Jepang. Hal ini disebabkan karena hampir semua imam-imam Belanda tidak boleh diizinkan lagi menjalankan pekerjaannya sepanjang revolusi, dan komunitas Katolik Batak sepanjang periode ini sesekali didatangi oleh imam dari Jawa. Dalam periode ini pengajaran hanya dilakukan pada saat-saat tertentu dilakukan oleh seorang imam yang berasal dari Jawa. Baru setelah tahun 1947 dimulailah misi yang sebenarnya di Tanah Karo.Dalam perjuangan revolusi untuk kesatuan bangsa dan kebebasan, seperti sebuah pekerjaan yang mendorong partisipasi orang Karo Kristen untuk ikut ambil bagian, dengan kesetiaan kepada bangsa yang baru dan untuk mewujudnyatakan sebuah bangsa yang ideal. Sepanjang revolusi sosial tahun 1946, sebagian orang Karo Kristen menderita. Pdt. Pasaribu dan Guru Agama Simatupang ditangkap oleh orang lain di Lingga dan dibunuh oleh anggota-anggota dari Barisan Harimau Liar, yang sepanjang tahun 1946 melakukan pesta pembantaian di Tanah Karo. Pa Rita Tarigan juga dibunuh oleh orang tak dikenal di Kabanjahe karena diduga bersekutu dengan Belanda. Banyak orang Kristen yang lain juga mengalami penderitaan kekerasan karena diduga mendukung rezim kolonial.
Ketika tentara Belanda memasuki dataran tinggi Karo pada bulan Juli dan Agustus 1947, semasa konflik pertama, pemimpin GBKP menolak untuk mengakui kebenaran campur tangan kolonial dan menolak ijin kepada seorang militer Belanda berkhotbah di GBKP, walaupun ia adalah seorang mantan misionari dan fasih berbahasa Karo. Ketika sinode membuat keputusan formal, pemimpin gereja itu dan jemaat-jemaat Kristen mengambil posisi yang pro-republik, berdoa pada hari Minggu untuk perjuangan republik, di mana banyak anggota gereja yang juga secara aktif termasuk di dalamnya. Sepertinya, gambaran pro-kolonial gereja menjadi ancaman bagi beberapa anggotanya dalam memperjuangkan kebebasan republik. Begitulah seterusnya, untuk menjaga keamanannya, maka gereja turut berperan dalam perjuangan bangsa, sehingga ia tidak dipandang sebagai bagian dari pendukung kolonial.
(Sumber: Website gbkpjakartapusat.org)
Misi Kristen di Tanah Karo tahun 1890-1942 secara signifikan dapat dilihat melalui komunikasi-komunikasi orang Eropa, melalui misi yang memperkenalkan teknologi, mempelajari bahasa, dan pendidikan. Semua ini merupakan sumbangan yang berharga dari para misionaris kepada orang-orang Karo. Demikanlah pada akhirnya masyarakat Karo sebagian dipengaruhi oleh kekristenan, ini sangat terlihat dengan bagaimana Zending membentuk persekutuan orang muda Karo, kemudian juga mencetak tenaga pendeta melalui sekolah-sekolah di Sipoholon, dan membentuk klasis yang pada akhirnya bertumbuh menjadi Sinode. Tahun 1940 setelah lima puluh tahun aktivitas misionaris di Tanah Karo, hanya ada sekitar lima ribu orang Karo yang dibaptis yang dilayani oleh misionaris NZG dan tiga puluh delapan guru evangelis Karo. Perkembangan misi yang lebih sukses terjadi ketika perang dunia ke II berakhir. Dalam kongres sejarah budaya Karo 1958 disimpulkan, ketika misionaris mengakhiri karyanya dan menghasilkan berbagai hal-hal yang berkembang, sedikit banyak telah membuat keberhasilan bagi orang-orang lokal.
Selain masuknya Protestan di Tanah Karo, Katolik yang masuk ke Tanah Karo juga berkembang. Misi Katolik yang ditujukkan ke daerah Simalungun, Dairi adalah dasar pendekatan yang pada akhirnya menyentuh Tanah Karo. Misi Katolik di Tanah Karo kemudian dihentikan oleh Jepang. Hal ini disebabkan karena hampir semua imam-imam Belanda tidak boleh diizinkan lagi menjalankan pekerjaannya sepanjang revolusi, dan komunitas Katolik Batak sepanjang periode ini sesekali didatangi oleh imam dari Jawa. Dalam periode ini pengajaran hanya dilakukan pada saat-saat tertentu dilakukan oleh seorang imam yang berasal dari Jawa. Baru setelah tahun 1947 dimulailah misi yang sebenarnya di Tanah Karo.Dalam perjuangan revolusi untuk kesatuan bangsa dan kebebasan, seperti sebuah pekerjaan yang mendorong partisipasi orang Karo Kristen untuk ikut ambil bagian, dengan kesetiaan kepada bangsa yang baru dan untuk mewujudnyatakan sebuah bangsa yang ideal. Sepanjang revolusi sosial tahun 1946, sebagian orang Karo Kristen menderita. Pdt. Pasaribu dan Guru Agama Simatupang ditangkap oleh orang lain di Lingga dan dibunuh oleh anggota-anggota dari Barisan Harimau Liar, yang sepanjang tahun 1946 melakukan pesta pembantaian di Tanah Karo. Pa Rita Tarigan juga dibunuh oleh orang tak dikenal di Kabanjahe karena diduga bersekutu dengan Belanda. Banyak orang Kristen yang lain juga mengalami penderitaan kekerasan karena diduga mendukung rezim kolonial.
Ketika tentara Belanda memasuki dataran tinggi Karo pada bulan Juli dan Agustus 1947, semasa konflik pertama, pemimpin GBKP menolak untuk mengakui kebenaran campur tangan kolonial dan menolak ijin kepada seorang militer Belanda berkhotbah di GBKP, walaupun ia adalah seorang mantan misionari dan fasih berbahasa Karo. Ketika sinode membuat keputusan formal, pemimpin gereja itu dan jemaat-jemaat Kristen mengambil posisi yang pro-republik, berdoa pada hari Minggu untuk perjuangan republik, di mana banyak anggota gereja yang juga secara aktif termasuk di dalamnya. Sepertinya, gambaran pro-kolonial gereja menjadi ancaman bagi beberapa anggotanya dalam memperjuangkan kebebasan republik. Begitulah seterusnya, untuk menjaga keamanannya, maka gereja turut berperan dalam perjuangan bangsa, sehingga ia tidak dipandang sebagai bagian dari pendukung kolonial.
(Sumber: Website gbkpjakartapusat.org)
PENGARUH AGAMA di TANAH KARO
Aceh telah menganut agama Islam dan jaya pada masa pemerintahan Iskandar Muda. Demikianlah Islam kemudian timbul di Tanah Karo. Akan tetapi ada ketegangan waktu itu yang terjadi antara orang Karo dan Aceh, sehingga Islam kurang mendapatkan perhatian dari orang-orang Karo. Hal ini disebabkan karena orang Karo menganggap Aceh (Islam) sebagai musuh. Permusuhan antara Aceh dan Karo ini bisa kita lihat melalui cerita-cerita seperti Putri Hijau dan lain-lain.Kedatangan orang Eropa pertama kali adalah ketika William Marsden yang melaporkan perjalanannya ke Sumatera tahun 1783. Walaupun ia tidak mengunjungi Tanah Karo, tetapi Marsden telah membuat observasi yang penting tentang kepercayaan Batak, adat dan tradisi, dan hal-hal yang menarik di sana.
Masyarakat Karo sebelum kolonial memiliki kebebasan politik dan ekonomi. Masyarakat Karo sebelum kolonial tidak memiliki pemerintahan yang terpusat atau pemerintahan atau sistem daerah, dan Tanah Karo yang terisolasi menyebabkan ketidak-berkembangan ekonomi di sana. Hal inilah yang mendorong orang-orang Karo untuk pergi ke daerah-daerah lain. Orang-orang terpandang yang ada di dalam masyarakat pada waktu itu disebut sebagai pengulu, raja atau guru.
Bagaimanapun juga kehadiran orang Eropa di dalam masyarakat Karo inilah yang pada akhirnya membawa perubahan sistem-sistem pemerintahan, demokrasi dan lain-lainnya di Tanah Karo, dan inilah yang akhirnya memperbaharui masyarakat. Pengaruh pietisme Barat, kehadiran para zendeling, memberikan warna baru dalam perkembangan religius di Tanah Karo, tetapi bagi mereka yang non-Kristen kadang-kadang kurang bisa terbuka.
Masyarakat Karo sebelum kolonial memiliki kebebasan politik dan ekonomi. Masyarakat Karo sebelum kolonial tidak memiliki pemerintahan yang terpusat atau pemerintahan atau sistem daerah, dan Tanah Karo yang terisolasi menyebabkan ketidak-berkembangan ekonomi di sana. Hal inilah yang mendorong orang-orang Karo untuk pergi ke daerah-daerah lain. Orang-orang terpandang yang ada di dalam masyarakat pada waktu itu disebut sebagai pengulu, raja atau guru.
Bagaimanapun juga kehadiran orang Eropa di dalam masyarakat Karo inilah yang pada akhirnya membawa perubahan sistem-sistem pemerintahan, demokrasi dan lain-lainnya di Tanah Karo, dan inilah yang akhirnya memperbaharui masyarakat. Pengaruh pietisme Barat, kehadiran para zendeling, memberikan warna baru dalam perkembangan religius di Tanah Karo, tetapi bagi mereka yang non-Kristen kadang-kadang kurang bisa terbuka.
Sabtu, 13 Juni 2009
Karo"s culture is an habit from our ancestors. They made the culture perfectly with all of their magic power. Some people said that culture was not very important, but that their mistake. Because Indonesian have very much cultures, so we have very much dialect. The Conclusion is we have to everlasting our culture if you wont our culture will be utterly....
SAVE OUR NATION
Langganan:
Postingan (Atom)