Jumat, 09 Oktober 2009

Gundala-Gundala Antara Topeng dan Air Hujan



Gundala-gundala adalah atraksi kesenian pada Masyarakat Kabupaten Karo dengan menggunakan "topeng" kayu. Gundala-gundala pada masa lampau ditampilkan dalam upacara "ndilo wari udan" (memanggil hujan) pada musim kemarau panjang (di beberapa desa masih dilaksanakan sampai sekarang). Pada mulanya atraksi ini ditampilkan di Desa Seberaya mengisahkan legenda/dongeng si Gurda Gurdi.


Menurut kisahnya, di masa lampau di dataran tinggi Karo hidup masyarakat yang rukun dan damai dipimpin seorang raja yang disebut "Sibayak" Sang raja memiliki satu-satunya keturunan yaitu seorang anak perempuan. Anak raja diperlakukan sebagai sorang putri yang yang sangat dimanjakan raja dengan sejumlah dayang-dayang yang senantiasa siap melayaninya. Setelah dewasa, sang putri menikah dengan seorang pemuda yang gagah perkasa, seorang pegawai istana yang saat itu bertugas sebagai kepala pengawal raja. Setelah perkawinannya, sang pengawal raja diberi jabatan baru sebagai Panglima Kerajaan.


Suatu hari raja mengajak panglima untuk berburu di hutan yang lebat. Di tengan hutan rimba, rombongan ini bertemu dengan seekor burung raksasa, burung yang sangat sakti jelmaan seorang pertapa yang sakti mandraguna bernama Gurda Gurdi. Burung Gurda Gurdi tidak seperti hewan lainnya, dia mampu berbicara seperti layaknya seorang manusia. Pada saat rombongan Raja dan panglimanya bertemu dengan burung ini, burung Gurda Gurdi menyapa salam sang raja seraya menunjukkan rasa hormatnya, membuat panglima raja menaruh simpati dan mengajaknya pulang untuk tinggal di Istana Raja menemani istrinya sang putri raja. Hari-hari kehidupan sang putri yang ditemani Gurda Gurdi bertambah ceria dan bahagia, karena pada saat Panglima kerajaan suaminya melaksanakan tugas keluar daerah, Gurda Gurdi mampu menghibur sang putri sekaligus mampu memberikan perlindungan yang sempurna, karena burung jelmaan pertapa sakti ini tidak hanya tangguh dalam dunia persilatan, namun juga ampuh menangkal semua jenis racun, mantra, guna-guna, termasuk ilmu santet. Sisi lain dari kesaktian Burung raksasa ini adalah pantangan yang telah disumpahkannya sejak dahulu yakni paruhnya yang merupakan simbol kehormatannya tidak boleh dipegang.


Suatu ketika, selagi sang putri asyik bercanda dengan putri raja, tanpa sengaja sang putri memegang paruh Gurda Gurdi yang membuat burung ini berang dan tidak menunjukkan sikap bersahabat. Mengetahui keadaan ini, panglima raja suaminya berusaha membujuk Gurda Gurdi dengan "mengelus" paruh burung tersebut. Ketidaktahuan keluarga raja atas karakter dan sifat Gurda Gurdi membuat terjadinya kemarahan yang berulang, karena paruh Gurda Gurdi kembali dielus, padahal tindakan tersebut dianggap sang burung sebagai bentuk pelecehan yang sangat menyakitkan.


Gurda Gurdi menjadi marah besar, dengan mata merah dan bulu berdiri, dia melakukan sambaran dan pukulan kearah Panglima. semakin lama pertarungan kedua jawara sakti ini bertambah sengit, sang panglima pun tidak kalah sigap, sebagai pria sejati yang gagah perkasa dan sakti mandraguna dia tidak mau dipermalukan oleh seekor burung. Pertarungan yang sengit terus berlangsung selama beberapa hari, banyak kerbau mati terkena pukulan jarak jauh salah sasaran serta pohon-pohon bertumbangan akibat pertarungan kedua jawara dan belum ada tanda-tanda menunjukkan pihak yang lebih kuat atau yang lebih lemah.


Melihat bahwa pertarungan ini telah menimbulkan keresahan bagi raja dan seluruh istana, Raja memerintahkan para pengawalnya untuk membantu panglima dengan menyalurkan tenaga dalam dari jarak jauh, akibatnya Gurda Gurdi terhempas ke tanah terkena pukulan mematikan dibagian kepalanya. Kematian Gurda Gurdi dihormati sebagai kematian seorang pahlawan Kerajaan, seluruh Istana berkabung, rakyat ikut berkabung bahkan Hari tiba-tiba mendung dan menitikkan air tanda berkabung nya, hujan deraspun melanda seluruh negeri.


Demikianlah setiap kali atraksi atau tarian Gundala-gundala dilaksanakan dalam upacara Ndilo Wari Udan akan diahiri dengan suatu keadaan turunnya Hujan Deras.......

Kamis, 18 Juni 2009

LAU KAWAR LAKE

This lake is located at the foot of Mount Sinabung Tanah Karo, about 50 km from the city of Medan. Compared with the broad reach of Lake Toba 1265 square kilometers, Lake Lau Kawar wide with only 200 hectares of what is that. However, Lau Kawar actually have a charm that no less beautiful than the Toba of the world already.Lake water is clear and calm, and the air is cool, is greeting the first time to reach this lake.To feel the beauty of the more time standing at the lakeside.In addition to the water is clean and quiet, rimbunan trees encircle the lake is a distinctive charm. Incessant clearing in the middle of the wild, in fact there is still a relatively sustainable forests.

Lake Lau Kawar in Gugung Kuta Village, Kecamatan Simpang Empat, Karo District, North Sumatra, is one of two lakes in the Leuser Ecosystem Area (KEL), in addition to Lake Marpunge.

This lake is one of the main gate of the climber to reach the summit of Mount Sinabung which has a height of 2451 meter dpl. So far, the highest mountain in North Sumatra is one of the favorites for the mountain climber.

In addition, Deleng (hill) Lancuk located in the vicinity of Lake Lau Kawar can also be tracking the path for the captivating holiday that do not want to bother climbing Sinabung.

And terrain around the lake can be a favorite place to stay with the tent up during the ascent to Mount Sinabung.

Minggu, 14 Juni 2009

DELENG LANCUK





Hutan Wisata Deleng Lancuk adalah nama sebuah bukit yang berada didalam kawasan Hutan Sibayak II (Sinabung) dengan luas 435 Ha. Termasuk Danau Lau Kawar telah ditunjuk menjadi TWA sesuai dengan SK Menteri Kehutanan No.08/Kpts/II/1989 tanggal 6 Pebruari 1989. secara administratif pemerintahan kawasan hutan wisata ini terletak di Desa Lau Kawar Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Daerah Tingkat II Tanah Karo. Untuk menuju lokasi ini dapat ditempuh dari Medan melalui Kabanjahe ± 1 1/2 jam, selain itu dapat juga ditempuh dari Kota Pematang Siantar melewati pinggiran Danau Toba yang sudah tentu membuat perjalanan ini mengasyikkan.


Potensi TWA Deleng Lancuk:
Flora Fauna Potensi flora/tumbuhan yang terdapat dikawasan TWA Deleng Lancuk didominasi oleh jenis keliung (Quercus sp), Castanopsis sp dan jenis ficus. Pada pingggiraan danau (tebing) banyak dijumpai berbagai jenis anggrek pohon dengan bunga-bungaan yang indah. Sedangkan fauna yang dapat kita jumpai antara lain: Rusa rawa (Cervus unicolor), Owa (Hylobates moloch), Musang (Paradoxumus hermaprodicus), Kambing hutan (Naemorhaedus sumatrensis) dan Burung Enggang (Buceros sp).


WisataHutan Wisata Deleng Lancuk dan Danau Kawar memiliki potensi kepariwisataan yang sangat tinggi berupa kombinasi antara pepohonan berbuah dengan danau yang berair jernih. Disamping itu keadaan cuaca sejuk yang dipengaruhi oleh hembusan angin pegunungan segar membuat perasaan kita bila berada di lokasi ini semakin nyaman. Selain itu dilokasi ini juga terdapat sarana dan prasarana yang memadai sehingga lokasi ini sering dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun asing untuk berbagai kegiatan pariwisata alam.

GURO GURO ARON

Guro-guro aron berasal dari dua kata, yaitu: guro-guro dan aron. Guro-guro berarti hiburan atau pesta, sedangkan aron berarti muda-mudi. Jadi guro-guro aron adalah suatu pesta muda-mudi yang dilaksanakan berdasarkan adat dan kebudayaan Karo, dengan memakai musik karo dan perkolong-kolong. Adapun perlengkapan musik karo yang dipakai untuk itu adalah: sarune, gendang (singindungi dan singanaki), gung dan penganak. Akan tetapi dewasa ini gendang guro-guro aron ini ada kalanya diiringi dengan keyboard. Sementara perkolong-kolong terdiri dari seorang perempuan dan seorang laki-laki yang menyanyi mengiringi aron (muda-mudi) menari. Menurut cerita sebelumnya dikenal dengan nama permangga-mangga, yang menyanyi dari satu desa ke desa lainnya.

Adapun fungsi guro-guro aron itu pada masyarakat Karo adalah sebagai :

1. Latihan Kepemimpinan (Persiapan Suksesi).
Maksudnya, bahwa dalam guro-guro aron, muda-mudi dilatih memimpin, mengatur, mengurus pesta tersebut. Untuk itu ada yang bertugas sebagai pengulu aron, bapa aron atau nande aron. mereka dengan mengikuti guro-guro aron ini dipersiapkan sebagai pemimpin desa (kuta) dikemudian hari.

2. Belajar Adat Karo.
Dalam melaksanakan guro-guro aron, muda-mudi juga belajar tentang adat Karo. Misalnya bagaimana cara ertutur, mana yang boleh teman menari, mana yang boleh menurut adat atau mana yang tidak boleh dilakukan dan lain-lain.

3. Hiburan.
Guro-guro aron juga berfungsi sebagai alat hiburan bagi peserta dan penduduk kampung. Malahan pada waktu itu penduduk kampung, dan tetangga kampung lain juga biasanya hadir.

4. Metik (tata rias).
Dengan diselenggarakannya guro-guro aron, maka muda-mudi, yakni anak perana dan singuda-nguda belajar tata rias (metik) guna mempercantik diri. Mereka belajar melulur diri, membuat tudung atau bulang-bulang dan lain sebagainya.

5. Belajar Etika.
Dalam melaksanakan guro-guro aron ini, anak perana dan singuda-nguda juga belajar etika atau tata krama pergaulan hidup dengan sesamanya.

6. Arena cari Jodoh.
Guro-guro aron juga dimaksudkan sebagai arena cari jodoh bagi anak perana dan singuda-nguda. Oleh karena itu adakalanya pelaksanaannya didorong oleh orang-orang tua, karena melihat banyak perawan tua dan lajang tua di kampungnya.

PROSES PERUBAHAN AGAMA

Kehadiran misi Protestan dan kolonialisasi di Tanah Karo dimulai ketika seorang zendeling dari badan NZG dan beberapa orang dari Minahasa pada tahun 1890. Setelah melihat situasi yang ada, lalu mereka membuat tempat perhentian di Buluhawar, sebuah kampung yang terdiri dari dua ratus rumah tangga, sekitar lima puluh kilometer sebelah selatan kota Medan. Di sinilah kemudian dibangun sekolah yang pertama, akan tetapi kekristenan belum diterima oleh orang Karo pada masa itu. Baru ketika H.C. Kruyt digantikan oleh J.K. Wijngaarden yang dipindahkan dari Sawu, Indonesia Timur, melakukan pembaptisan pertama terhadap enam orang Karo pada bulan Agustus 1893. Kemudian kekristenan ini berkembang walaupun menghadapi tantangan karena pada waktu itu. Setiap orang Karo yang menjadi Kristen memiliki dua tantangan, yaitu mengkomunikasikan kepercayaan orang Kristen bagi mereka yang masih hidup dalam agama awal dan mengajak orang-orang Karo untuk tidak memandang Kristen itu secara otomatis adalah Belanda Hitam.

Misi Kristen di Tanah Karo tahun 1890-1942 secara signifikan dapat dilihat melalui komunikasi-komunikasi orang Eropa, melalui misi yang memperkenalkan teknologi, mempelajari bahasa, dan pendidikan. Semua ini merupakan sumbangan yang berharga dari para misionaris kepada orang-orang Karo. Demikanlah pada akhirnya masyarakat Karo sebagian dipengaruhi oleh kekristenan, ini sangat terlihat dengan bagaimana Zending membentuk persekutuan orang muda Karo, kemudian juga mencetak tenaga pendeta melalui sekolah-sekolah di Sipoholon, dan membentuk klasis yang pada akhirnya bertumbuh menjadi Sinode. Tahun 1940 setelah lima puluh tahun aktivitas misionaris di Tanah Karo, hanya ada sekitar lima ribu orang Karo yang dibaptis yang dilayani oleh misionaris NZG dan tiga puluh delapan guru evangelis Karo. Perkembangan misi yang lebih sukses terjadi ketika perang dunia ke II berakhir. Dalam kongres sejarah budaya Karo 1958 disimpulkan, ketika misionaris mengakhiri karyanya dan menghasilkan berbagai hal-hal yang berkembang, sedikit banyak telah membuat keberhasilan bagi orang-orang lokal.

Selain masuknya Protestan di Tanah Karo, Katolik yang masuk ke Tanah Karo juga berkembang. Misi Katolik yang ditujukkan ke daerah Simalungun, Dairi adalah dasar pendekatan yang pada akhirnya menyentuh Tanah Karo. Misi Katolik di Tanah Karo kemudian dihentikan oleh Jepang. Hal ini disebabkan karena hampir semua imam-imam Belanda tidak boleh diizinkan lagi menjalankan pekerjaannya sepanjang revolusi, dan komunitas Katolik Batak sepanjang periode ini sesekali didatangi oleh imam dari Jawa. Dalam periode ini pengajaran hanya dilakukan pada saat-saat tertentu dilakukan oleh seorang imam yang berasal dari Jawa. Baru setelah tahun 1947 dimulailah misi yang sebenarnya di Tanah Karo.Dalam perjuangan revolusi untuk kesatuan bangsa dan kebebasan, seperti sebuah pekerjaan yang mendorong partisipasi orang Karo Kristen untuk ikut ambil bagian, dengan kesetiaan kepada bangsa yang baru dan untuk mewujudnyatakan sebuah bangsa yang ideal. Sepanjang revolusi sosial tahun 1946, sebagian orang Karo Kristen menderita. Pdt. Pasaribu dan Guru Agama Simatupang ditangkap oleh orang lain di Lingga dan dibunuh oleh anggota-anggota dari Barisan Harimau Liar, yang sepanjang tahun 1946 melakukan pesta pembantaian di Tanah Karo. Pa Rita Tarigan juga dibunuh oleh orang tak dikenal di Kabanjahe karena diduga bersekutu dengan Belanda. Banyak orang Kristen yang lain juga mengalami penderitaan kekerasan karena diduga mendukung rezim kolonial.

Ketika tentara Belanda memasuki dataran tinggi Karo pada bulan Juli dan Agustus 1947, semasa konflik pertama, pemimpin GBKP menolak untuk mengakui kebenaran campur tangan kolonial dan menolak ijin kepada seorang militer Belanda berkhotbah di GBKP, walaupun ia adalah seorang mantan misionari dan fasih berbahasa Karo. Ketika sinode membuat keputusan formal, pemimpin gereja itu dan jemaat-jemaat Kristen mengambil posisi yang pro-republik, berdoa pada hari Minggu untuk perjuangan republik, di mana banyak anggota gereja yang juga secara aktif termasuk di dalamnya. Sepertinya, gambaran pro-kolonial gereja menjadi ancaman bagi beberapa anggotanya dalam memperjuangkan kebebasan republik. Begitulah seterusnya, untuk menjaga keamanannya, maka gereja turut berperan dalam perjuangan bangsa, sehingga ia tidak dipandang sebagai bagian dari pendukung kolonial.

(Sumber: Website gbkpjakartapusat.org)

PENGARUH AGAMA di TANAH KARO

Aceh telah menganut agama Islam dan jaya pada masa pemerintahan Iskandar Muda. Demikianlah Islam kemudian timbul di Tanah Karo. Akan tetapi ada ketegangan waktu itu yang terjadi antara orang Karo dan Aceh, sehingga Islam kurang mendapatkan perhatian dari orang-orang Karo. Hal ini disebabkan karena orang Karo menganggap Aceh (Islam) sebagai musuh. Permusuhan antara Aceh dan Karo ini bisa kita lihat melalui cerita-cerita seperti Putri Hijau dan lain-lain.Kedatangan orang Eropa pertama kali adalah ketika William Marsden yang melaporkan perjalanannya ke Sumatera tahun 1783. Walaupun ia tidak mengunjungi Tanah Karo, tetapi Marsden telah membuat observasi yang penting tentang kepercayaan Batak, adat dan tradisi, dan hal-hal yang menarik di sana.

Masyarakat Karo sebelum kolonial memiliki kebebasan politik dan ekonomi. Masyarakat Karo sebelum kolonial tidak memiliki pemerintahan yang terpusat atau pemerintahan atau sistem daerah, dan Tanah Karo yang terisolasi menyebabkan ketidak-berkembangan ekonomi di sana. Hal inilah yang mendorong orang-orang Karo untuk pergi ke daerah-daerah lain. Orang-orang terpandang yang ada di dalam masyarakat pada waktu itu disebut sebagai pengulu, raja atau guru.

Bagaimanapun juga kehadiran orang Eropa di dalam masyarakat Karo inilah yang pada akhirnya membawa perubahan sistem-sistem pemerintahan, demokrasi dan lain-lainnya di Tanah Karo, dan inilah yang akhirnya memperbaharui masyarakat. Pengaruh pietisme Barat, kehadiran para zendeling, memberikan warna baru dalam perkembangan religius di Tanah Karo, tetapi bagi mereka yang non-Kristen kadang-kadang kurang bisa terbuka.





Sabtu, 13 Juni 2009

Karo"s culture is an habit from our ancestors. They made the culture perfectly with all of their magic power. Some people said that culture was not very important, but that their mistake. Because Indonesian have very much cultures, so we have very much dialect. The Conclusion is we have to everlasting our culture if you wont our culture will be utterly....

SAVE OUR NATION

Rabu, 27 Mei 2009

KOSMOLOGI MASYARAKAT KARO yang TERTERA pada RUMAH ADATNYA
Dalam berbagai pandangan masyarakat tradisional, rumah sumber kehidupan (kosmos). Alam pikiran masyarakat tradisional, menempatkan hidup mereka, berada pada ruang kosmos bertingkat. Langit, tengah dan bawah. Pola tiga hampir terdapat di seluruh Indonesia. Pola tiga dimulai dari budaya kaum peladang, meskipun kemudian masuk pola pikir orang sawah atau berkembang menjadi budaya maritim. Estetika pola tiga, terfokus pada terbentuknya simbol-simbol paradoks berupa dunia tengah, mengharmonikan semua hal yang dualistik-antagonistik.Rumah menjadi makna bagi kehidupan manusia, mewakili alam pikirannya. Rumah pada masyarakat tradisi, sering dipenuhi berbagai macam tanda-tanda inderawi visualnya sebagai simbol kehidupan mereka. Tanda visual pada rumah, apa yang jadi ciri-ciri fisik, kasat mata dan dapat diraba. Ciri-ciri fisik, merupakan fenomena visual lebih mudah ditangkap sebagai pembeda, namun tidak semudah itu untuk mengungkapkan estetikanya. Karena itu orang-orang modern cenderung menafsirkannya dengan paradigma ilmiah, paradigma estetika timur. Paradigma ini, memiliki metode relevan dengan fenomena tradisional itu.Keberadaan rumah adat, menempati keadaannya sebagai monumen ruh masa lalu bangsa Indonesia. Dari berbagai catatan sejarah maupun analisis kebudayaan, sudah banyak dilakukan para ilmuwan, menunjukan bangsa Indonesia, bangsa berasal dari bangsa sangat tradisional. Sampai kini dalam bentuk lain, pola hidup itu masih bisa dilihat di berbagai pelosok nusantara, Salah satunya masyarakat suku Karo. Rumah adat ini, sudah merupakan simbol masyarakat pra – modern dalam memandang mikrokosmos –makrokosmos – dan metakosmos. Ketiga alam pikiran ini, sesungguhnya sebagai konstruksi dalam berbagai prilaku budaya dan membangunnya berdasarkan kegunaan dan kebutuhan kehidupan sehari-hari. Rumah, merupakan cikal bakal nilai-nilai tradisi masyarakatnya. Dengan berbagai ciri kesenian tradisionalnya. Semangat maupun spirit masyarakat Karo dalam berkesenian, umumnya memegang azas atau prinsip-prinsip adat istiadat sebagaimana yang dikembangkan berdasarkan struktur adat istiadat yang secara turun temurun. Berkembang berdasarkan struktur adat istiadat yang bermula dari rumah adat.Kini rumah Adat Karo, kian berkurang. Selain pelapukan, juga tidak ada lagi pembuatnya. Tinggal beberapa saja dari ratusan rumah yang pernah ada Karo. Rumah adat Karo, terletak dibeberapa desa, seperti di kampung Lingga, kampung Dokan, Barus Jahe, Brastagi maupun Kabanjahe.Rumah Adat Karo merupakan jenis arsitektur sebahagian besar menggunakan bahan kayu, bambu dan ijuk. Ketiga komponen ini, merupakan material utama membuat rumah adat. Rumah Adat dengan ukuran 10x30m dibangun tanpa menggunakan paku, mampu bertahan, hingga 250 tahun. Bentuknya memiliki tingkatan atap yang disebut tersek. Bervariasi, ada yang satu dan ada yang dua. Kemudian bentuk atap (ayo rumah) ada berwajah dua dengan sepasang tanduk kerbau diatasnya (Rumah Mecu). Ada berwajah empat, dengan empat tanduk kerbau, (Rumah Sianjung-anjung).Penempatan rumah adat bukan sembarang. Diletakkan dimana arah depannya, sesuai jalur sungai, dianggap dekat dengan rumah. Untuk bagian depan pada ujung atap, diletakkan kepala dan tanduk kerbau jantan, menghadap hulu (kenjulu) sungai. Kepala kerbau betina menghadap ke arah hilir sungai (kenjahe).Interior terdiri dari delapan sampai enambelas ruangan. Dihuni setiap kepala keluarga, sama sekali tidak ada penyekatnya, kecuali tirai berupa kain. Khusus dipasang waktu malam hari. Pada tiap dua ruangan bersebelahan, didepannya, terdapat satu dapur tempat memasak untuk dua kepala keluarga. Seluruh keluarga didalamnya selain keluarga batih, juga ada beberapa keluarga sepupu silang. Pada bahagian luar memiliki fungsi-fungsi lain. Kenyamanan dan keamanan, seperti atap, dinding, tangga, tiang, palang dapur. Rumah diberi hiasan sebagai fungsi estetik dan magis. Ditempatkan pada bagian luar rumah, mulai dari ujung atap sampai palang dapur (dapur-dapur). Hiasan-hiasan itu disebut sebagai Gerga GergaGerga, bagi masyarakat Karo sama artinya dengan ragam hias. Istilah ragam hias berasal dari dua perkataan, ragam dan hias. Berpadu jadi satu pengertian pola. Dalam bahasa Inggris disebut ornament dan dalam bahasa Belanda disebut Siermotieven. Dalam terjemahan Van Der Hoop dierangkan bahwa “De betekenis Van een siermotief is neit makkelijk in een enkel woord weer to geven dikwijls is die betekenis zelfs in het geheel niet Zeker” maksudnya “Arti suatu ragam hias tidak gampang diterangkan dengan satu kata. Sering artinya sama sekali menjadi tidak tentu...”, Sedang dalam bahasa Inggris disebutkan “The significance of an ornamental designer cannot be explained in a few words : Quite often it’s meaning is not by any means certain.Pola hiasan ini digunakan mengisi hiasan pada sebuah bidang atau dinding. Tujuannya memperindah bidang. Jika hiasan terdiri dari warna polos dan di dalam tidak mengandung unsur gambar, hiasan itu bukan sebagai ornamen atau ragam hias. Hiasan ditambahkan pada sebuah bidang atau dinding, harus terdiri dari pola, sehingga bisa memperlihatkan keberadaannya sebagai ragam hias atau ornament. Pola juga memiliki struktur. Motifnya berbeda-beda, hingga pola dapat digolongkan berdasarkan motifnya. Seperti bentuk manusia, hewan, raksasa, tumbuh-tumbuhan, geometrik,kosmos atau alam.Secara teknis Gerga dikerjakan dengan cara mengukir, merajut, maupun menempatkan bagian-bagian tertentu pada tempat tertentu, Kehadiran Gerga merupakan simbol, menyiratkan nilai mistis pada rumah adat cukup banyak. Bentuk gerga umumnya metamorfosis dari ornamen nusantara. Secara umum bermotif sulur-sulur daun. Motif sulur-sulur daun merupakan motif umum, banyak digunakan pada hiasan-hiasan rumah Ibadah. Selain penggologan fungsi, secara bentuk Gerga terdiri dari motif Tapak Raja Sulaiman (Geometris), Bindu Natogog (Geometris), Desa si Waluh (Kosmos), Embun Sikawiten (Sulur tumbuh-tumbuhan), Bunga Gundur dan Pantil manggis (Tumbuh-tumbuhan), Cimba lau dan tutup dadu (Geometris), Taiger Tudung (Geometris),Takal Dapur-dapur (Tumbuh-tumbuhan dan hewan), Hiasan Cuping (Raksasa),Cikepen/ngalo-ngalo (Manusia), Beraspati Pengeretret (Hewan), Ayo Rumah (lambe-lambe) (Geometris), Kepala Kerbau (Hewan).Gerga selain memiliki bentuk, fungsi dan makna, juga dapat dibedakan dari segi penempatan. Jika dilihat dari struktur pada anatomi rumah adat, terlihat bagaimana susunan di atas. Dimulai dari penempatan Kepala kerbau sampai pada ornamen atau hiasan-hiasan. Pada palang dapur (takal dapur) letaknya di bawah, bahkan sekitar seperlima dari permukaan tanah. Bahan dan pembuatannya dikerjakan dengan rajutan bambu, membentuk hiasan geometris-simetris seperti pada permukaan atap rumah (ayo). Dikerjakan dengan rajutan tali ijuk, seperti pada motif cecak terletak didinding (pengeretret-beraspati), demikian pada bahagian takal dapur, keseluruhnan bermotif ornamen sulur-sulur daun,dikerjakan dengan mengukir.Makna SimbolisSusunan gerga dimulai dari atas. Kepala kerbau, dapat dilambangkan sebagai lambang kesuburan dan kemakmuran manusia. Kerbau merupakan lambang kekayaan bagi pemiliknya. Fungsi kerbau juga sebagai pengolah tanah ladang/sawah mereka. Secara umum dapat dilambangkan sebagai gambaran adanya “kehidupan” bagi seluruh penghuni rumah.Sebagai latar belakang kosmologi masyarakatnya berbau hinduistis, bisa dilihat dari filosofi hinduistik. Jika ditelusuri dari sejarahnya, suku Karo merupakan suku primitif Animisme Pra Hindu. Kepercayaan tradisonal etnik Karo, banyak persamaannya dengan agama Hindu. Misalnya penjelmaan Tuhan (Dibata) dalam tiga wujud. Dalam Hindu perwujudan ini disebut Brahmana Pencipta Alam, Waisya Pemelihara Alam, Syiwa Perusak Alam. Dalam kepercayaan Karo tradisonal (Pemena) perwujudan ini disebut Dibata Datas, Dibata Tengah, Dibata Teruh. Beberapa simbol menggambarkan alam pikiran dengan kesamaan masyarakat Jawa pada umumnya. Baik dari aspek rupa (susunan dan penataan) maupun pada aspek mistis berdasarkan kepentingan kosmolginya.Susunan tadai, memiliki kesamaan pandangan tradisi jawa dalam gunungan wayang. Ada tiga strata vertikal dalam alam metakosmos. Alam atas, tengah dan bawah. Sesuatu diterjemahkan kepada metakosmos baik bentuk, dalam hal ini kepala kerbau. Peletakannya di atas, sebagai lambang kehidupan yang harus dekat dengan sang pencipta, untuk kelangsungan hidup itu sendiri.Perlakuan seperti ini jelas terlihat dalam pandangan estetika nusantara yaitu tentang makrokosmos yang mendudukkan manusia sebagai bagian dari semesta. Manusia harus menyadari tempat dan kedudukanya dalam jagad raya. Pandangan tentang mikro-meta-makrokosmos dalam konsep, kemudian disebut ajaran Tribuana/Triloka, yakni: (1) alam niskala (alam yang tak tampak dan tak terindera), (2) alam sakala niskala (alam yang wadag dan tak wadag, terindera tetapi juga tak terindera, dan (3) alam sakala (alam wadag dunia ini). Manusia dapat bergerak ke tiga alam metakosmos lewat sakala niskala yakni: lewat kekuasaan perantara, shaman atau pawang dan lewat kesenian.Pola segitiga dapat disebut sebagai bagian dari cara pandang (kosmologi). Sebagai pola memiliki tingkatan atau strata sebagaimana pada uraian diatas. Setiap level/tingkatan memiliki makna dan nilai yang berbeda dengan level lainnya. Kepala kerbau, sering dilakukan sebagian masyarakat suku di Indonesia sebagai upacara persembahan kepada sang pencipta sekaligus sebagai refleksi metakosmos, dengan harapan keselamatan, kemakmuran dan lainnya, diluar kemampuan manusia memikirkan dan melakukan itu.Hiasan tanduk di atas rumah, dibuat dari tanduk kerbau gerak dan sikapnya agak menunduk seperti posisi agak siap menyerang. Di bawah moncongnya tergantung periuk, tempat air jernih disebut Lau maturge, diisi dengan daun atau bulung-bulung simalem . Daun dan air gunanya menjaga agar kekuatan mistik kepala kerbau tidak mengganggu tuan rumah dan seisinya. Bentuk hiasan ini melambangkan keperkasaan, berarti fungsi hiasan sebagai penjaga keselamatan rumah dari serangan roh-roh jahat (begu) dari luar kampung.Pada gerga yang terletak pada bahagian tengah dari anatomi rumah terdapat gerga ayo dan pengretret. Penempatan gerga dapat ditafsirkan sebagai bentuk level kedua dalam hubungan triloka atau tribuana di atas. Pengretret bentuk cecak, melambangkan penangkal magis , setan dan roh jahat. Sangat strategis dalam perlindungan penghuni rumah. Pengretret ditempatkan di dinding rumah. Dinding ini sebagai penyekat udara dingin, dan udara atau angin. Melalui angin ini pula, sesuatu kekuatan magis dapat dihembuskan dan masuk menyerang penghuni rumah. Pengretret berupa pola geometrik berulang-ulang dengan bentuk susunan wajid. Dapat dikatakan bentuk masih sangat primitif dari semua gerga yang terdapat pada rumah adat. Pengretret sejenis hewan menyerupai kadal/cecak. Dikatakan sebagai sahabat manusia, jika ada manusia tersesat di hutan, mereka akan mencari beraspati hewan berkepala dua dan berkaki banyak. Dipercayai dapat menunjukan kembali jalan pulang kampung. Ornament Beraspati berbentuk kadal, memiliki fungsi sebagai pengikat dinding dengan cara melubangi papan dinding. Warnanya hitam sesuai sifat alamiah ijuk aren. Warna hitam semakin dekat dengan pemaknaan mistis dan dunia gaib.Tidak semua dapat diterjemahkan makna terkandung di balik itu. Beberapa diantaranya merupakan gerga, masih banyak digunakan dan diyakini makna mistisnya. Gerga Tapak Raja Sulaiman meski tidak jelas diketahui darimana asalnya. Ada beberapa catatan menjelaskan, jenis gerga ada di wilayah yang secara cultural dan religiulitasnya berbeda, yaitu di Aceh. Sejauh ini, belum ada penelusuran intensif mengenai kebenaran itu. Ornamen ini merupakan ingan kundul (tempat duduk) raja Sulaiman. Dalam pandangan masyarakat Karo, sebagai orang sakti mampu mengobati berbagai penyakit.Gerga tapak raja Sulaiman diyakini, memiliki makna mistis sebagai penolak racun dan penyembuh gatal-gatal, penunjuk arah dan penolak bala. Gerga ini banyak digunakan pada alat-alat dapur atau alat-alat rumah tangga lainnya. Motif gerga lainnya, Bindu Natogog, Embun Sikawiten, Desa si Waluh (Kosmos), Taiger Tudung (Geometris), Bunga Gundur dan Pantil manggis (Tumbuh-tumbuhan), Cimba lau dan tutup dadu (Geometris) lebih kurang memiliki makna mistis yang sama.Gerga terletak paling bawah ada pada palang dapur (takal dapur). Pada ujungnya (pertemuan sudut palang) memiliki motif seperti kuping atau telinga manusia. Cuping- melambangkan pendengaran penghuni rumah tentang suara-suara jahat dari luar rumah. Kaidah-kaidah warna mistis, digunakan tiga warna dasar. Tiga level meta-makro-mikro kosmos, berupa warna putih (atas), merah (tengah) hitam (bawah) sebagaimana dalam pendekatan estetika timur. Prinsip menggambarkan tentang keselarasan dalam menggunakan warna.Teknik pengerjaan pada Gerga, tercermin kreativitas ukir-ukiran dan lukisan. Dikerjakan oleh pande (ahlinya). Dianggap sebagai suatu pekerjaan mulia, dalam prosesnya juga mereka mengerjakan dengan acara ritual, ketika rumah itu didirikan. Dalam prosesi ini, masyarakat Karo mengharapkan kehadiran energi mistis dan kekuatan gaib, melalui proses transedensial dengan yang imanen.Saat ini kosmologi kebudayaan Karo, tertuang dan bersumber dari rumah adat Karo, sudah mengalami pergeseran, seiring dengan semakin berkurangnya jumlah rumah adat Karo. Simbol-simbol mistis terdapat pada berbagai gerga, juga mengalami hal sama. Dapat ditandai dari proses penciptaan berbagai gerga. Warna yang digunakan pada gerga terletak di palang-palang dapur (takal dapur) sudah bertambah dari warna mistis (putih, merah, dan hitam) bertambah dengan warna biru dan kuning. Meski dalam pewarnaan tradisonal, warna sebenarnya juga cerminan dari marga-marga suku.Gerga merupakan simbol kekuatan mistis dan merupakan struktur nalar manusia tradisional dalam menghadirkan entitas baru, melalui fenomena paradoks. Fenomena bergeraknya kosmos transenden dengan yang imanen. Gerga sebagai cerminan kreativitas pande tukang (Ahli atau seniman tradisional) tidak lagi dikerjakan dengan cara memahat bagian-bagian kayu sebagai motif gerga. Pengerjaannya, sudah menggunakan cara-cara lebih praktis. Seperti penambahan warna-warni yang secara inderawi visual, sudah meninggalkan unsur maupun nilai-nilai mistis di balik gerga itu. Demikian juga proses pembuatan gerga, awalanya dimulai dengan acara ritual, ketika bersamaan mendirikan rumah adat. Pada acara ini, sesungguhnya yang menyelimuti komis masyarakat Karo sebagai kekuatan mistis. Spiritnya dalam berbagai tindakan dan prilaku sosial maupun keseniannya.


sumber: koran ANALISA 17 MEI 2009 HAL. 14

Jumat, 22 Mei 2009

marga marga suku karo

Cabang-cabang merga suku Karo dan persebarannya.
A. Merga Karokaro dan cabang-cabangnya
Karokaro Sinulingga di Lingga, Bintang Meriah, dan Gunung Merlawan.
Karokaro Surbakti di Surbakti dan Gajah.
Karokaro Kacaribu di Kutagerat dan Kerapat
Karokaro Sinukaban di Pernantin, Kabantua, Bintang Meriah, Buluh Naman, dan L. Lingga.
Karokaro Barus di Barus Jahe, Pitu Kuta.
Karokaro Simbulan di Bulanjulu dan Bulanjahe.
Karokaro Jung di Kutanangka, Kalang, Perbesi, dan Batukarang.
Karokaro Purba di Kabanjahe, Berastagi, dan Lau Cih (Deli Hulu).
Karokaro Ketaren di Raya, Ketaren Sibolangit, dan Pertampilen.
Karokaro Gurusinga di Gurusinga dan Rajaberneh.
Karokaro Kaban di Kaban dan Sumbul.
Karokaro Sinuhaji di Ajisiempat.
Karokaro Sekali di Seberaya.
Karokaro Kemit di Kuta Bale.
Karokaro Bukit di Bukit dan Buluh Awar.
Karokaro Sinuraya di Bunuraya, Singgamanik, dan Kandibata.
Karokaro Samura di Samura.
Karokaro Sitepu di Naman dan Sukanalu
B. Merga Ginting dan cabang-cabangnya
Ginting Munte di Kutabangun, Ajinembah, Kubu, Dokan, Tanggung, Munte, Rajatengah, dan Bulan Jahe.
Ginting Babo di Gurubenua, Munte, dan Kutagerat.
Ginting Sugihen di Sugihen, Juhar, dan Kutagunung.
Ginting Gurupatih di Buluh Naman, Sarimunte, Naga, dan Lau Kapur.
Ginting Ajartambun di Rajamerahe.
Ginting Capah di Bukit dan Kalang.
Ginting Beras di Laupetundal.
Ginting Garamata di (Simarmata) Raja Tengah, Tengging.
Ginting Jadibata di Juhar.
Ginting Suka Ajartambun di Rajamerahe.
Ginting Manik di Tengging dan Lingga.
Ginting Sinusinga di Singa.
Ginting Jawak di Cingkes (?)
Ginting Seragih di Lingga Julu.
Ginting Tumangger di Kidupen dan Kemkem.
Ginting Pase di …. (lenyap?)
C. Merga Tarigan dan Cabang-cabangnya
Tarigan Sibero di Juhar, Kutaraja, Keriahen, Munte, Tanjung Beringin, Selakar, dan Lingga.
Tarigan Tambak di Kebayaken dan Sukanalu.
Tarigan Silangit di Gunung Meriah.
Tarigan Tua di Pergendangen.
Tarigan Tegur di Suka.
Tarigan Gersang di Nagasaribu dan Berastepu.
Tarigan Gerneng di Cingkes (Simalungun).
Tarigan Gana-gana di Batukarang.
Tarigan Jampang di Pergendangen.
Tarigan Tambun di Rakutbesi, Binangara, Sinaman dll.
Tarigan Bondong di Lingga.
Tarigan Pekan (Cabang dari Tambak) di Sukanalu
Tarigan Purba di Purba (Simalungun)
D. Merga Sembiring dan Cabang-cabangnya
I. Sembiring Siman biang (Tidak biasa kawin campur darah dengan cabang Sembiring lainnya, artinya: tidak diperbolehkan perkawinan dengan sesama merga Sembiring).
Sembiring Kembaren di Samperaya dan hampir di seluruh urung Liang Melas.
Sembiring Sinulaki di Silalahi.
Sembiring Keloko di Pergendangen.
Sembiring Sinupayung di Juma Raja dan Negeri
II. Sembiring Simantangken biang (ada dilakukan perkawinan antara cabang merga Sembiring)
Sembiring Colia di Kubucolia dan Seberaya.
Sembiring Pandia di Seberaya, Payung, dan Beganding.
Sembiring Gurukinayan di Gurukinayan.
Sembiring Berahmana di Kabanjahe, Perbesi, dan Limang.
Sembiring Meliala di Sarinembah, Munte Rajaberneh, Kedupen, Kabanjahe, Naman, Berastepu, dan Biaknampe.
Sembiring Pande Bayang di Buluh Naman dan Gurusinga.
Sembiring Tekang di Kaban.
Sembiring Muham di Susuk dan Perbesi.
Sembiring Depari di Seberaya, Perbesi, dan Munte.
Sembiring Pelawi di Ajijahe, Perbaji, Kandibata, dan Hamparan Perak (Deli).
Sembiring Busuk di Kidupen dan Lau Perimbon.
Sembiring Sinukapar di Pertumbuken, Sidikalang(?) Sarintono.
Sembiring Keling di Juhar dan Rajatengah.
Sembiring Bunuh Aji di Sukatepu, Kutatonggal, dan Beganding
E. Merga Peranginangin dan cabang-cabangnya
Peranginangin Namohaji di Kutabuluh.
Peranginangin Sukatendel di Sukatendel.
Peranginangin Mano di Pergendangen.
Peranginangin Sebayang di Perbesi, Kuala, gunung dan Kuta Gerat.
Peranginangin Pencawan di Perbesi.
Peranginangin Sinurat di Kerenda.
Peranginangin Perbesi di Seberaya.
Peranginangin Ulunjandi di Juhar.
Peranginangin Penggarus di Susuk.
Peranginangin Pinem di Serintono (Sidikalang).
Peranginangin Uwir di Singgamanik.
Peranginangin Laksa di Juhar.
Peranginangin Singarimbun di Mardinding , Kutambaru dan Temburun.
Peranginangin Keliat di Mardinding.
Peranginangin Kacinambun di Kacinambun.
Peranginangin Bangun di Batukarang.
Peranginangin Tanjung di Penampen dan Berastepu.
Peranginangin Benjerang di Batukarang
Adapun nama - nama bulan dan binatang atau benda apa yang bersamaan dengan bulan bersangkutan adalah sebagai berikut:
Bulan Sipaka sada merupakan bulan
kambing
Bulan Sipaka dua merupakan bulan
lampu
Bulan Sipaka telu merupakan bulan gaya (
cacing)
Bulan Sipaka empat merupakan bulan
katak
Bulan Sipaka lima merupakan bulan arimo (
harimau)
Bulan Sipaka enem merupakan bulan kuliki (
elang)
Bulan Sipaka pitu merupakan bulan
kayu
Bulan Sipaka waluh merupakan bulan tambak (
kolam)
Bulan Sipaka siwah merupakan bulan gayo (
kepiting)
Bulan Sipaka sepuluh merupakan bulan belobat baluat atau balobat (sejenis alat musik tiup)
Bulan Sipaka sepuluh sada merupakan bulan
batu
Bulan Sipaka sepuluh dua merupakan bulan nurung (
ikan)
Nama-nama hari pada suku Karo apabila diperhatikan banyak miripnya dengan kata-kata Sansekerta. Setiap hari dari tanggal itu mempunyai makna atau pengertian tertentu. Oleh karena itu apabila seseorang hendak merencanakan sesuatu, misalnya keberangkatan ke tempat jauh, berperang ke medan laga, memasuki rumah baru dan berbagai kegiatan lainnya. selalu dilihat harinya yang dianggap paling cocok. Di sinilah besarnya peranan "guru si beloh niktik wari" (dukun/orang tua yang pintar melihat hari dan bulan yang baik dan serasi), yang dengan perhitungannya secara seksama, ia menyarankan agar suatu acara yang direncanakan dilakukan pada hari X.
Adapun nama yang 30 dalam satu bulan adalah sebagai berikut:
1.Aditia
2.Suma
3.Nggara
4.Budaha
5.Beras pati
6.Cukra enem
7.Belah naik
8.Aditia naik
9.Sumana siwah
10.Nggara sepuluh
11.Budaha ngadep
12.Beras pati tangkep
13.Cukera dudu (lau)
14.Belah purnama raya
15.Tula
16.Suma cepik
17.Nggara enggo tula
18.Budaha gok
19.Beras pati
20.Cukra si 20
21.Belah turun
22.Aditia turun
23.Sumana mate
24.Nggara simbelin
25.Budaha medem
26.Beras pati medem
27.Cukrana mate
28.Mate bulan ngulak
29.Dalan bulan
30.Sami sara
Diperoleh dari "Kalender_Karo corp."

Sabtu, 11 April 2009

Bupati saat ini adalah Daulat Daniel Sinulingga. Menurut situs resmi Pemda Kab. Karo terdapat 13 bupati yang memimpin daerah ini sejak zaman kemerdekaan yaitu :
Ngerajai Meliala; -- 1946
Rakutta Sembiring Berahmana; 1946-1955
Abdullah Eteng
Baja Purba
Mayor Matang Sitepu
Baharudin Siregar
Kol. Tampak Sebayang, SH.; 1970-1981
Drs. Rukun Sembiring; 1981-1986
Ir. Menet Ginting; 1986-1991
Drs. Rupai Perangin-angin; 1991-1995
Drs. Daulat Daniel Sinulingga; 1995-2000
Sinar Perangin-angin; 2000-2005
Drs. Daulat Daniel Sinulingga; 2005- 2010

Selasa, 07 April 2009

Rumah Adat

Hanya Tinggal Dua Rumah Adat Karo yang Utuh


Kabanjahe, Kompas - Rumah adat Karo di Desa Budaya Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, dalam kondisi memprihatinkan. Dari delapan rumah adat yang tersisa tinggal dua rumah yang kini utuh, lainnya tak terawat dan terancam ambruk.
Pantauan Kompas, Sabtu (16/12), menunjukkan rumah adat yang berumur ratusan tahun itu banyak yang bocor. Bahkan, atap yang terbuat dari ijuk itu melorot. Jika hujan datang, air masuk dan melapukkan kayu-kayu rumah.
Dari delapan rumah itu, tiga rumah masih ditempati sejumlah penyewa dengan biaya ganti sewa pada pemilik rumah senilai 20 kaleng beras atau sekitar Rp 50.000 per tahun. Kepala Desa Lingga, Martin Luter, mengatakan, dua rumah yang utuh adalah hasil renovasi bantuan Pemda Kabupaten Karo 2004. Selain dua rumah, pemda juga merenovasi satu rumah pertemuan dengan biaya sekitar Rp 180 juta.
Problem yang muncul adalah masalah perawatan. Menurut tokoh masyarakat Desa Lingga yang juga Ketua Badan Permusyawaratan Desa Lingga, Pedoman Sinulingga, rumah adat itu akan awet jika ditempati. Selain ada yang merawat, asap pembakaran kayu saat memasak mampu mengusir rayap dan serangga pemakan kayu.
Namun, karena alasan kepraktisan, banyak warga yang kini enggan tinggal di rumah adat. Selain privasi yang terganggu karena tinggal bersama keluarga-keluarga lain, rumah adat juga tidak menyediakan kamar mandi atau kamar kecil.
Ini berbeda dengan para penduduk Nias di Desa Bawomatoluwo, Nias, yang terkenal dengan tradisi lompat batunya. Banyak warga yang menambah bagian belakang rumah adat mereka dengan rumah tembok yang menyediakan kamar mandi dan cuci.
Rumah adat Karo terbuat dari kayu-kayu besar yang oleh penduduk setempat dinamakan kayu Inggul, Ambartua, dan Halibangbang. Satu rumah ditempati oleh 4,8, hingga 16 keluarga. Tersedia tungku-tungku memasak dengan kayu bakar di dalam rumah. Tiap tungku digunakan oleh dua keluarga.
Pintu rumah yang terbuka dari depan dan belakang menunjukkan keterbukaan masyarakat Karo yang memperbolehkan siapa saja masuk ke dalam rumahnya.
Pedoman mengatakan, sekitar tahun 1990-an, tiap hari Desa Lingga dikunjungi 100 orang wisatawan. Ekonomi masyarakat terdongkrak dengan munculnya perajin suvenir ala Karo yang dijual pada wisatawan. Namun kini kunjungan wisatawan tinggal 9-10 orang setiap bulannya.
Martin menyatakan, pemerintah desa setempat tidak bisa membantu pembiayaan renovasi rumah-rumah tersebut karena terhalang oleh kebutuhan dana yang cukup besar. Dirinya berharap, Pemerintah Kabupaten Karo bisa membantu kembali perbaikan rumah-rumah adat yang masih tersisa.
Martin menambahkan, bantuan dana akan sangat berguna untuk melestarikan adat dan budaya masyarakat Karo.

Rabu, 11 Maret 2009

Tanah karo adalah Tanahkemulihen Orang Karo. Tanah leluhur,Tanah yang begitu subur karunia yang Maha besar dari Sang Pencipta. Maka marilah kita jaga bersama - sama supaya tetap terpelihara dan menjadi kebanggan dan tempat bernaung bagi anakdan cucu kita nantinya.Tanah Tinggi Karo berjarak 90 menit perjalanan dari Medan, Ibu kota Sumatra utara.

Di ketinggian 1400 meter ( 4.594 feet ) diatas permukaan laut, dimana berhawa sejuk. Disini banyak tempat menarik yang bisa kita dapati di Tanahkaro seperti Berastagi, Desa Lingga, Desa Barusjahe, Desa Tongging, Desa Peceren, Danau Lau kawar, Air terjun Sikulikap, Air terjun sipiso - piso dan Lau Sidebuk - debuk dengan pemandangan alamnya yang sangat sejuk. Tanahkaro memiliki dua gunung yang masih aktif yakni Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak(2000 m )

Ibukota : Kabanjahe Luas Wilayah : 2.127 km ² Letak : 140 - 1,400 m diatas permukaan laut
Jumlah Penduduk : 271.900 Kepadatan Penduduk : 128 jiwa/km ² PDRB/Kapita : US$ 491 Iklim : Tropis basah, Curah hujan 1.000 - 4.000 mm/tahun,Suhu udara 16°C - 27°C, Kelembaban udara 82%. Potensi : Komoditas sayur-mayur, buah-buahan Sumber daya hutan (kayu gergajian, log pinus, log rimba) Sumber daya perkebunan (kopi, kemiri, kemenyan) Sektor perikanan darat Bahan galian C (dolomit dan belerang, batu, pasir) Sektor pariwisata (pemandangan alam, udara yang sejuk, bukit-bukit) Peluang : Industri pengolahan buah-buahan dan sayur-mayur Investasi Industri hasil hutan (kayu lapis) Pembangunan kawasan wisata, hotel dan restoran.

Sbr : Bappeda Sumut.



Kalak Karo Sekilas

Arah isi kitab si isuratken J.H. Neuman * si eteh ia pe erpengakap maka nina: “Ndauh ope dengan lit Merga Si Lima ibas kalak (suku) Karo, enggo leben ieteh kalak, maka lit Cakap Karo bage pe lit suku Karo i Taneh Karo si Malem ras I Karo Dusun, …si asalna I Karo Gugung nari. Emaka kerina suku – suku Bangsa si lit i sekelewetna ncakapken maka nina: “ Kalak Karo iakapna sebage suku asli si terdat ipedalamen Perca Timur (Sumatera Timur) ras cakap Karo pe igejapna cakap asli rehna I gugung nari.
Janah maka jadi gelar kalak Karo jadi Batak’s, iakap penjajah Belanda ngeerbahanca. Jenari i`terjemahken jadi Batak Karo, sedangken nai–nai nari labo tersinget bage.
Kira–kira 200 tahun ope Masehi, enggo i`eteh kalak Toba, maka enggo leben lit idapetina cakap Karo ras kalak Karo I Pulau Perca Timur : Pulau Andalas (Sumatera).
Arah kai si isuratken Ir. Budi K. Sinulingga si ibuatna idur kitab “Benih Yang Tumbuh” Jilid IV si ipedarat GBKP tahun 1976 ikatakenna: “Maka suku Karo bengket ku pulau Perca (Sumatera) Timur ibas imigran si pemena idur Proto Malay nari, kenca ngelewati India, Mianmar, Siam, ras Semenjanjung Malaka ndarat arah pantai Timur ope abad Masehi, jenari splinded I Gugung.
Ibas tahun 1958 ibas kitab stensilen si ibahan `per Seminar Adat & Budaya Karo * , maka asal usul Merga Silima jadi arah kesusuren si tergelari si Mbiring, Si Perangin–angin, ras si Tarigan, sebage palas Merga Silima ras Orat si waluh ndalanken kekelengen ku kerina Sangkep Nggeluh Perkade–kadenna.
- Nandangi wari Natal tahun 1993 lit ku aloken ada kitab si isusun seninangku Bujur Sitepu si ibahanna gelarna: ” Ola Lupa Taneh Karo Si Malem Ras Pijer Podi Karo”, si nina: “Seh ngayak gundari langa lit ieteh payona ija nari asal rehna ras mulana maka jadi kalak Karo, bage pe erti si lit ibas kata Karo e. Lit tuhu tersinget ras si ngataken, maka kalak Karo e rehna ibas sada kerajan si mbelin nari, si enggo pernah lit kira-kira ibas tahun 1539 si igelari Kerajaan Hariu,
Si belang kerajanam mulai kin iperbalengen Kerajaen Siak nari seh ku sungai Wampu ……., sebab seh gundari pe kalak Karo lit nge enggo ringan `i Asahen, Siak, Simelungen, Singkel, Dairi, Alas (Aceh Tenggara). Karo Jahe: ( Deli – Serdang – Medan – Langket) ras sidebanna, janah gundari enggor me l it `i lima benua ibabo doni enda pe
- Tapi anem bage pe langa bo teridah terombo si tangkas ncidahken dalin ras gelemen man kalak Karo, erkiteken langa bo lit tersinget terombo si tangkas, emaka kerna si e perlu denga i sik-sik terdauhen ras ipelajari, gelah dat bagi situhuna ras si payo dat igejapken
Salah sada contoh si erbahanca kabur terombo sada - sada suku si igelari rumpun Batak (labo sub Batak) emekap bagi kata Tapanuli, si ibahan penjajah Belanda sebage alat pemecah - belah antar suku i Indonesia ras i Sumatera Utara enda.
- Tapanuli asalna pe idur kata “Tapian na uli” nari nge, emekap sada ingan kalak Eropah Barat nai ndarat i sada kuta si gelarna Tapian Nauli, i teluk Sibolga dalin ku arah Barus. Emaka kerina kuta/kota si ingani si ngaku keturunen Toba si asalana i Bentock nari, arah Raja Isumbaon, ijadiken penjajah Belanda jadi Keresidenan Tapanuli.
- Sanga si e Perca Timur ibas kekuasaan Inggris denga, janah sebagien Malaka ras Singapore ibas kekuasaan Belanda. Erkiteken Inggris perlupangkalan laut, janah Belanda perlu ingan kebun mbako, emaka terjadi me pertukaren daerah: Sumatera Timur man Belanda, Malaka ras Singapore man Inggris, Sanga `si e kerina kalak Toba Batak’s enggo ngaloken Belanda, jenari ….. minter nggit ijajah/iajari Belanda ngoge ras nulis surat Latin emaka enggo jadi jajahenna. Jenari minter `iajarina jadi Kristen, seakatan `Si Singamangaraja, Datu’ Parmalim, sada Agama pemena-ka, si miser janah kiam ku Pakpak (Dairi) ningen gundari. Kenca terjadi pertukaren daerah, seh me penjajah Belanda `i Toba nari ku Sumatera Timur, ibahan Belanda me adu domba antar suku si lit i Sumatera Timur. Dataran Tinggi Karo ` i masukken Belanda jadi Batak Karo sedangken kalak Karo si idusun idas taneh `si mehumur I Karo Jahe` I masukken Belanda ku bas kedaulaten Melayu * si rehna I Taneh Melaka nari; gelah Karo ras Simelungen rubat bage pe Karo ras Melayu pendatang lanai si tabehen.
- Sanga si e Dataren Tinggi Karo, lnga terjajah Belanda seh tahun 1904, tapi dunia luar enggo nganggap Karo keturunen Toba Batak’s sedangken situhuna lang. Tapi pembauren i Toba nari ku Karo lit (salih) ngikuti merga-merga si lit i Taneh Karo ras i Karo Jahe. Maka kalak Karo pudien meteh surat Latin pe, erkiteken Karo la nggit ijajah Belanda nge, emaka Belanda njajah i Taneh Karo pe ± 37 tahun ngenca, sebab Jepang masuk tanggal 15 Maret 1942.
- Emaka perlu i peterangi, maka “Kalak (suku) Karo” labo keturunen Toba. Tapi keturunen nini (moyang) tergelar si “Karo” bekas panglima singkawal rombongen raj pengembara i sekitar India Selatan nari, janah labo keturunen Dewa bagi si kataken kalak Toba **) ras jepang, labo bagi turi-turien rakyat Toraja i Sulawesi Selatan singataken maka: nenek moyang suku Toraja asalna I Kayangen nari.***)
Entah piga ratus ribu tahun dekahna keturunen nini Karo ndube enggo nggeluh ngiani kutana bagi si nerap-nerapken bana, perban langa enterem kalak si reh ku kuta e. bage pe anak kuta, merak-rak denga si nadingken kuta guna ndarami pencarien kukuta sideban, emaka adat Karo e enggo jadi dareh daging man tiap jelma si ringan ije. Dungna piah enggo enteguh I jemak/ipakena adat Karo e, janah lanai murah sambar.
Tambah dekahna enggo ka lit kalak Karo si eggo netapenda ndai idahi kalak si deban. Bagi si ikataken Poortmann *) ibas kesimpulenna kenca ia meneliti keadaan penduduk, ija i enggo pernah ertugas sebage alat penjajah i Singkel, Alas, Sipirok, Jambi ras i Sumatera Timur, Kabanjahe, erbahan kesimpulen nina:
- Kalak Gayo, Alas ras-ras reh nge, i Teluk Martaban (Birma/Mianmar) nari ras sebagien kalak Karo-Kalak Pakpak, Boang, Kalasen si jadi Kabupaten Dairi pe sanga ndarat deheren nge ku Toba si enggo ndarat i muara sungai Sorkam. Tapi erkiteken ipinterkenna dalinna ngikuti sungai Simpang Kanan maka kalak e lanai ergabung ku Toba, …………. tapi enggo ergabung mulihken ku kalak Karo si enggo leben ngiani pertengahen antara pantai Timur ras Barat pulau Perca (Sumatera) eme Dataren Tinggi Karo (tanah Karo Simalem). Emaka kalak Karo si tangtangna ndarat arah pantai Timur nai e enggo ka jumpa ras kalk si ndarat i pantai Barat ras kalak Alas, Gayo ras Karo bage pe ras kalak Aceh.
Si nusun kitab enda tuhu labo peneliti, labo pengarang, janah Ia sarjana, tapi ersura-sura encidahken kebenaren si enggo pernah megiken turi-turien ` si ituriken nini bulang nai, gelah banci jadi bahan pehuli Terombo Karo,si enggo ibelokken kalak ku si la tuhu. Alu pengarapen tah ija gia kurang `tah lebihna kata-kata `si tersusun i jenda la bagi sura-surandu, mari ras-ras kita ngukuri ras nambahi ibas kekurangen e, Janah ibas lebihna `e kurangi, gelah ras-ras kita ngenanami kebenaren pagi keduen enda
Janah gelah jelas ieteh maka suku Karo labo keturunen Toba tah pe sebalikna ibas halaman 8,9 ilampirken pe Terombo kalak Toba, maka arah Terombona `e labo lit garis keturunen ku Suku Karo Sibar Em !
Powered By Blogger