Gundala-gundala adalah atraksi kesenian pada Masyarakat Kabupaten Karo dengan menggunakan "topeng" kayu. Gundala-gundala pada masa lampau ditampilkan dalam upacara "ndilo wari udan" (memanggil hujan) pada musim kemarau panjang (di beberapa desa masih dilaksanakan sampai sekarang). Pada mulanya atraksi ini ditampilkan di Desa Seberaya mengisahkan legenda/dongeng si Gurda Gurdi.
Menurut kisahnya, di masa lampau di dataran tinggi Karo hidup masyarakat yang rukun dan damai dipimpin seorang raja yang disebut "Sibayak" Sang raja memiliki satu-satunya keturunan yaitu seorang anak perempuan. Anak raja diperlakukan sebagai sorang putri yang yang sangat dimanjakan raja dengan sejumlah dayang-dayang yang senantiasa siap melayaninya. Setelah dewasa, sang putri menikah dengan seorang pemuda yang gagah perkasa, seorang pegawai istana yang saat itu bertugas sebagai kepala pengawal raja. Setelah perkawinannya, sang pengawal raja diberi jabatan baru sebagai Panglima Kerajaan.
Suatu hari raja mengajak panglima untuk berburu di hutan yang lebat. Di tengan hutan rimba, rombongan ini bertemu dengan seekor burung raksasa, burung yang sangat sakti jelmaan seorang pertapa yang sakti mandraguna bernama Gurda Gurdi. Burung Gurda Gurdi tidak seperti hewan lainnya, dia mampu berbicara seperti layaknya seorang manusia. Pada saat rombongan Raja dan panglimanya bertemu dengan burung ini, burung Gurda Gurdi menyapa salam sang raja seraya menunjukkan rasa hormatnya, membuat panglima raja menaruh simpati dan mengajaknya pulang untuk tinggal di Istana Raja menemani istrinya sang putri raja. Hari-hari kehidupan sang putri yang ditemani Gurda Gurdi bertambah ceria dan bahagia, karena pada saat Panglima kerajaan suaminya melaksanakan tugas keluar daerah, Gurda Gurdi mampu menghibur sang putri sekaligus mampu memberikan perlindungan yang sempurna, karena burung jelmaan pertapa sakti ini tidak hanya tangguh dalam dunia persilatan, namun juga ampuh menangkal semua jenis racun, mantra, guna-guna, termasuk ilmu santet. Sisi lain dari kesaktian Burung raksasa ini adalah pantangan yang telah disumpahkannya sejak dahulu yakni paruhnya yang merupakan simbol kehormatannya tidak boleh dipegang.
Suatu ketika, selagi sang putri asyik bercanda dengan putri raja, tanpa sengaja sang putri memegang paruh Gurda Gurdi yang membuat burung ini berang dan tidak menunjukkan sikap bersahabat. Mengetahui keadaan ini, panglima raja suaminya berusaha membujuk Gurda Gurdi dengan "mengelus" paruh burung tersebut. Ketidaktahuan keluarga raja atas karakter dan sifat Gurda Gurdi membuat terjadinya kemarahan yang berulang, karena paruh Gurda Gurdi kembali dielus, padahal tindakan tersebut dianggap sang burung sebagai bentuk pelecehan yang sangat menyakitkan.
Gurda Gurdi menjadi marah besar, dengan mata merah dan bulu berdiri, dia melakukan sambaran dan pukulan kearah Panglima. semakin lama pertarungan kedua jawara sakti ini bertambah sengit, sang panglima pun tidak kalah sigap, sebagai pria sejati yang gagah perkasa dan sakti mandraguna dia tidak mau dipermalukan oleh seekor burung. Pertarungan yang sengit terus berlangsung selama beberapa hari, banyak kerbau mati terkena pukulan jarak jauh salah sasaran serta pohon-pohon bertumbangan akibat pertarungan kedua jawara dan belum ada tanda-tanda menunjukkan pihak yang lebih kuat atau yang lebih lemah.
Melihat bahwa pertarungan ini telah menimbulkan keresahan bagi raja dan seluruh istana, Raja memerintahkan para pengawalnya untuk membantu panglima dengan menyalurkan tenaga dalam dari jarak jauh, akibatnya Gurda Gurdi terhempas ke tanah terkena pukulan mematikan dibagian kepalanya. Kematian Gurda Gurdi dihormati sebagai kematian seorang pahlawan Kerajaan, seluruh Istana berkabung, rakyat ikut berkabung bahkan Hari tiba-tiba mendung dan menitikkan air tanda berkabung nya, hujan deraspun melanda seluruh negeri.
Demikianlah setiap kali atraksi atau tarian Gundala-gundala dilaksanakan dalam upacara Ndilo Wari Udan akan diahiri dengan suatu keadaan turunnya Hujan Deras.......