KOSMOLOGI MASYARAKAT KARO yang TERTERA pada RUMAH ADATNYA
Dalam berbagai pandangan masyarakat tradisional, rumah sumber kehidupan (kosmos). Alam pikiran masyarakat tradisional, menempatkan hidup mereka, berada pada ruang kosmos bertingkat. Langit, tengah dan bawah. Pola tiga hampir terdapat di seluruh Indonesia. Pola tiga dimulai dari budaya kaum peladang, meskipun kemudian masuk pola pikir orang sawah atau berkembang menjadi budaya maritim. Estetika pola tiga, terfokus pada terbentuknya simbol-simbol paradoks berupa dunia tengah, mengharmonikan semua hal yang dualistik-antagonistik.Rumah menjadi makna bagi kehidupan manusia, mewakili alam pikirannya. Rumah pada masyarakat tradisi, sering dipenuhi berbagai macam tanda-tanda inderawi visualnya sebagai simbol kehidupan mereka. Tanda visual pada rumah, apa yang jadi ciri-ciri fisik, kasat mata dan dapat diraba. Ciri-ciri fisik, merupakan fenomena visual lebih mudah ditangkap sebagai pembeda, namun tidak semudah itu untuk mengungkapkan estetikanya. Karena itu orang-orang modern cenderung menafsirkannya dengan paradigma ilmiah, paradigma estetika timur. Paradigma ini, memiliki metode relevan dengan fenomena tradisional itu.Keberadaan rumah adat, menempati keadaannya sebagai monumen ruh masa lalu bangsa Indonesia. Dari berbagai catatan sejarah maupun analisis kebudayaan, sudah banyak dilakukan para ilmuwan, menunjukan bangsa Indonesia, bangsa berasal dari bangsa sangat tradisional. Sampai kini dalam bentuk lain, pola hidup itu masih bisa dilihat di berbagai pelosok nusantara, Salah satunya masyarakat suku Karo. Rumah adat ini, sudah merupakan simbol masyarakat pra – modern dalam memandang mikrokosmos –makrokosmos – dan metakosmos. Ketiga alam pikiran ini, sesungguhnya sebagai konstruksi dalam berbagai prilaku budaya dan membangunnya berdasarkan kegunaan dan kebutuhan kehidupan sehari-hari. Rumah, merupakan cikal bakal nilai-nilai tradisi masyarakatnya. Dengan berbagai ciri kesenian tradisionalnya. Semangat maupun spirit masyarakat Karo dalam berkesenian, umumnya memegang azas atau prinsip-prinsip adat istiadat sebagaimana yang dikembangkan berdasarkan struktur adat istiadat yang secara turun temurun. Berkembang berdasarkan struktur adat istiadat yang bermula dari rumah adat.Kini rumah Adat Karo, kian berkurang. Selain pelapukan, juga tidak ada lagi pembuatnya. Tinggal beberapa saja dari ratusan rumah yang pernah ada Karo. Rumah adat Karo, terletak dibeberapa desa, seperti di kampung Lingga, kampung Dokan, Barus Jahe, Brastagi maupun Kabanjahe.Rumah Adat Karo merupakan jenis arsitektur sebahagian besar menggunakan bahan kayu, bambu dan ijuk. Ketiga komponen ini, merupakan material utama membuat rumah adat. Rumah Adat dengan ukuran 10x30m dibangun tanpa menggunakan paku, mampu bertahan, hingga 250 tahun. Bentuknya memiliki tingkatan atap yang disebut tersek. Bervariasi, ada yang satu dan ada yang dua. Kemudian bentuk atap (ayo rumah) ada berwajah dua dengan sepasang tanduk kerbau diatasnya (Rumah Mecu). Ada berwajah empat, dengan empat tanduk kerbau, (Rumah Sianjung-anjung).Penempatan rumah adat bukan sembarang. Diletakkan dimana arah depannya, sesuai jalur sungai, dianggap dekat dengan rumah. Untuk bagian depan pada ujung atap, diletakkan kepala dan tanduk kerbau jantan, menghadap hulu (kenjulu) sungai. Kepala kerbau betina menghadap ke arah hilir sungai (kenjahe).Interior terdiri dari delapan sampai enambelas ruangan. Dihuni setiap kepala keluarga, sama sekali tidak ada penyekatnya, kecuali tirai berupa kain. Khusus dipasang waktu malam hari. Pada tiap dua ruangan bersebelahan, didepannya, terdapat satu dapur tempat memasak untuk dua kepala keluarga. Seluruh keluarga didalamnya selain keluarga batih, juga ada beberapa keluarga sepupu silang. Pada bahagian luar memiliki fungsi-fungsi lain. Kenyamanan dan keamanan, seperti atap, dinding, tangga, tiang, palang dapur. Rumah diberi hiasan sebagai fungsi estetik dan magis. Ditempatkan pada bagian luar rumah, mulai dari ujung atap sampai palang dapur (dapur-dapur). Hiasan-hiasan itu disebut sebagai Gerga GergaGerga, bagi masyarakat Karo sama artinya dengan ragam hias. Istilah ragam hias berasal dari dua perkataan, ragam dan hias. Berpadu jadi satu pengertian pola. Dalam bahasa Inggris disebut ornament dan dalam bahasa Belanda disebut Siermotieven. Dalam terjemahan Van Der Hoop dierangkan bahwa “De betekenis Van een siermotief is neit makkelijk in een enkel woord weer to geven dikwijls is die betekenis zelfs in het geheel niet Zeker” maksudnya “Arti suatu ragam hias tidak gampang diterangkan dengan satu kata. Sering artinya sama sekali menjadi tidak tentu...”, Sedang dalam bahasa Inggris disebutkan “The significance of an ornamental designer cannot be explained in a few words : Quite often it’s meaning is not by any means certain.Pola hiasan ini digunakan mengisi hiasan pada sebuah bidang atau dinding. Tujuannya memperindah bidang. Jika hiasan terdiri dari warna polos dan di dalam tidak mengandung unsur gambar, hiasan itu bukan sebagai ornamen atau ragam hias. Hiasan ditambahkan pada sebuah bidang atau dinding, harus terdiri dari pola, sehingga bisa memperlihatkan keberadaannya sebagai ragam hias atau ornament. Pola juga memiliki struktur. Motifnya berbeda-beda, hingga pola dapat digolongkan berdasarkan motifnya. Seperti bentuk manusia, hewan, raksasa, tumbuh-tumbuhan, geometrik,kosmos atau alam.Secara teknis Gerga dikerjakan dengan cara mengukir, merajut, maupun menempatkan bagian-bagian tertentu pada tempat tertentu, Kehadiran Gerga merupakan simbol, menyiratkan nilai mistis pada rumah adat cukup banyak. Bentuk gerga umumnya metamorfosis dari ornamen nusantara. Secara umum bermotif sulur-sulur daun. Motif sulur-sulur daun merupakan motif umum, banyak digunakan pada hiasan-hiasan rumah Ibadah. Selain penggologan fungsi, secara bentuk Gerga terdiri dari motif Tapak Raja Sulaiman (Geometris), Bindu Natogog (Geometris), Desa si Waluh (Kosmos), Embun Sikawiten (Sulur tumbuh-tumbuhan), Bunga Gundur dan Pantil manggis (Tumbuh-tumbuhan), Cimba lau dan tutup dadu (Geometris), Taiger Tudung (Geometris),Takal Dapur-dapur (Tumbuh-tumbuhan dan hewan), Hiasan Cuping (Raksasa),Cikepen/ngalo-ngalo (Manusia), Beraspati Pengeretret (Hewan), Ayo Rumah (lambe-lambe) (Geometris), Kepala Kerbau (Hewan).Gerga selain memiliki bentuk, fungsi dan makna, juga dapat dibedakan dari segi penempatan. Jika dilihat dari struktur pada anatomi rumah adat, terlihat bagaimana susunan di atas. Dimulai dari penempatan Kepala kerbau sampai pada ornamen atau hiasan-hiasan. Pada palang dapur (takal dapur) letaknya di bawah, bahkan sekitar seperlima dari permukaan tanah. Bahan dan pembuatannya dikerjakan dengan rajutan bambu, membentuk hiasan geometris-simetris seperti pada permukaan atap rumah (ayo). Dikerjakan dengan rajutan tali ijuk, seperti pada motif cecak terletak didinding (pengeretret-beraspati), demikian pada bahagian takal dapur, keseluruhnan bermotif ornamen sulur-sulur daun,dikerjakan dengan mengukir.Makna SimbolisSusunan gerga dimulai dari atas. Kepala kerbau, dapat dilambangkan sebagai lambang kesuburan dan kemakmuran manusia. Kerbau merupakan lambang kekayaan bagi pemiliknya. Fungsi kerbau juga sebagai pengolah tanah ladang/sawah mereka. Secara umum dapat dilambangkan sebagai gambaran adanya “kehidupan” bagi seluruh penghuni rumah.Sebagai latar belakang kosmologi masyarakatnya berbau hinduistis, bisa dilihat dari filosofi hinduistik. Jika ditelusuri dari sejarahnya, suku Karo merupakan suku primitif Animisme Pra Hindu. Kepercayaan tradisonal etnik Karo, banyak persamaannya dengan agama Hindu. Misalnya penjelmaan Tuhan (Dibata) dalam tiga wujud. Dalam Hindu perwujudan ini disebut Brahmana Pencipta Alam, Waisya Pemelihara Alam, Syiwa Perusak Alam. Dalam kepercayaan Karo tradisonal (Pemena) perwujudan ini disebut Dibata Datas, Dibata Tengah, Dibata Teruh. Beberapa simbol menggambarkan alam pikiran dengan kesamaan masyarakat Jawa pada umumnya. Baik dari aspek rupa (susunan dan penataan) maupun pada aspek mistis berdasarkan kepentingan kosmolginya.Susunan tadai, memiliki kesamaan pandangan tradisi jawa dalam gunungan wayang. Ada tiga strata vertikal dalam alam metakosmos. Alam atas, tengah dan bawah. Sesuatu diterjemahkan kepada metakosmos baik bentuk, dalam hal ini kepala kerbau. Peletakannya di atas, sebagai lambang kehidupan yang harus dekat dengan sang pencipta, untuk kelangsungan hidup itu sendiri.Perlakuan seperti ini jelas terlihat dalam pandangan estetika nusantara yaitu tentang makrokosmos yang mendudukkan manusia sebagai bagian dari semesta. Manusia harus menyadari tempat dan kedudukanya dalam jagad raya. Pandangan tentang mikro-meta-makrokosmos dalam konsep, kemudian disebut ajaran Tribuana/Triloka, yakni: (1) alam niskala (alam yang tak tampak dan tak terindera), (2) alam sakala niskala (alam yang wadag dan tak wadag, terindera tetapi juga tak terindera, dan (3) alam sakala (alam wadag dunia ini). Manusia dapat bergerak ke tiga alam metakosmos lewat sakala niskala yakni: lewat kekuasaan perantara, shaman atau pawang dan lewat kesenian.Pola segitiga dapat disebut sebagai bagian dari cara pandang (kosmologi). Sebagai pola memiliki tingkatan atau strata sebagaimana pada uraian diatas. Setiap level/tingkatan memiliki makna dan nilai yang berbeda dengan level lainnya. Kepala kerbau, sering dilakukan sebagian masyarakat suku di Indonesia sebagai upacara persembahan kepada sang pencipta sekaligus sebagai refleksi metakosmos, dengan harapan keselamatan, kemakmuran dan lainnya, diluar kemampuan manusia memikirkan dan melakukan itu.Hiasan tanduk di atas rumah, dibuat dari tanduk kerbau gerak dan sikapnya agak menunduk seperti posisi agak siap menyerang. Di bawah moncongnya tergantung periuk, tempat air jernih disebut Lau maturge, diisi dengan daun atau bulung-bulung simalem . Daun dan air gunanya menjaga agar kekuatan mistik kepala kerbau tidak mengganggu tuan rumah dan seisinya. Bentuk hiasan ini melambangkan keperkasaan, berarti fungsi hiasan sebagai penjaga keselamatan rumah dari serangan roh-roh jahat (begu) dari luar kampung.Pada gerga yang terletak pada bahagian tengah dari anatomi rumah terdapat gerga ayo dan pengretret. Penempatan gerga dapat ditafsirkan sebagai bentuk level kedua dalam hubungan triloka atau tribuana di atas. Pengretret bentuk cecak, melambangkan penangkal magis , setan dan roh jahat. Sangat strategis dalam perlindungan penghuni rumah. Pengretret ditempatkan di dinding rumah. Dinding ini sebagai penyekat udara dingin, dan udara atau angin. Melalui angin ini pula, sesuatu kekuatan magis dapat dihembuskan dan masuk menyerang penghuni rumah. Pengretret berupa pola geometrik berulang-ulang dengan bentuk susunan wajid. Dapat dikatakan bentuk masih sangat primitif dari semua gerga yang terdapat pada rumah adat. Pengretret sejenis hewan menyerupai kadal/cecak. Dikatakan sebagai sahabat manusia, jika ada manusia tersesat di hutan, mereka akan mencari beraspati hewan berkepala dua dan berkaki banyak. Dipercayai dapat menunjukan kembali jalan pulang kampung. Ornament Beraspati berbentuk kadal, memiliki fungsi sebagai pengikat dinding dengan cara melubangi papan dinding. Warnanya hitam sesuai sifat alamiah ijuk aren. Warna hitam semakin dekat dengan pemaknaan mistis dan dunia gaib.Tidak semua dapat diterjemahkan makna terkandung di balik itu. Beberapa diantaranya merupakan gerga, masih banyak digunakan dan diyakini makna mistisnya. Gerga Tapak Raja Sulaiman meski tidak jelas diketahui darimana asalnya. Ada beberapa catatan menjelaskan, jenis gerga ada di wilayah yang secara cultural dan religiulitasnya berbeda, yaitu di Aceh. Sejauh ini, belum ada penelusuran intensif mengenai kebenaran itu. Ornamen ini merupakan ingan kundul (tempat duduk) raja Sulaiman. Dalam pandangan masyarakat Karo, sebagai orang sakti mampu mengobati berbagai penyakit.Gerga tapak raja Sulaiman diyakini, memiliki makna mistis sebagai penolak racun dan penyembuh gatal-gatal, penunjuk arah dan penolak bala. Gerga ini banyak digunakan pada alat-alat dapur atau alat-alat rumah tangga lainnya. Motif gerga lainnya, Bindu Natogog, Embun Sikawiten, Desa si Waluh (Kosmos), Taiger Tudung (Geometris), Bunga Gundur dan Pantil manggis (Tumbuh-tumbuhan), Cimba lau dan tutup dadu (Geometris) lebih kurang memiliki makna mistis yang sama.Gerga terletak paling bawah ada pada palang dapur (takal dapur). Pada ujungnya (pertemuan sudut palang) memiliki motif seperti kuping atau telinga manusia. Cuping- melambangkan pendengaran penghuni rumah tentang suara-suara jahat dari luar rumah. Kaidah-kaidah warna mistis, digunakan tiga warna dasar. Tiga level meta-makro-mikro kosmos, berupa warna putih (atas), merah (tengah) hitam (bawah) sebagaimana dalam pendekatan estetika timur. Prinsip menggambarkan tentang keselarasan dalam menggunakan warna.Teknik pengerjaan pada Gerga, tercermin kreativitas ukir-ukiran dan lukisan. Dikerjakan oleh pande (ahlinya). Dianggap sebagai suatu pekerjaan mulia, dalam prosesnya juga mereka mengerjakan dengan acara ritual, ketika rumah itu didirikan. Dalam prosesi ini, masyarakat Karo mengharapkan kehadiran energi mistis dan kekuatan gaib, melalui proses transedensial dengan yang imanen.Saat ini kosmologi kebudayaan Karo, tertuang dan bersumber dari rumah adat Karo, sudah mengalami pergeseran, seiring dengan semakin berkurangnya jumlah rumah adat Karo. Simbol-simbol mistis terdapat pada berbagai gerga, juga mengalami hal sama. Dapat ditandai dari proses penciptaan berbagai gerga. Warna yang digunakan pada gerga terletak di palang-palang dapur (takal dapur) sudah bertambah dari warna mistis (putih, merah, dan hitam) bertambah dengan warna biru dan kuning. Meski dalam pewarnaan tradisonal, warna sebenarnya juga cerminan dari marga-marga suku.Gerga merupakan simbol kekuatan mistis dan merupakan struktur nalar manusia tradisional dalam menghadirkan entitas baru, melalui fenomena paradoks. Fenomena bergeraknya kosmos transenden dengan yang imanen. Gerga sebagai cerminan kreativitas pande tukang (Ahli atau seniman tradisional) tidak lagi dikerjakan dengan cara memahat bagian-bagian kayu sebagai motif gerga. Pengerjaannya, sudah menggunakan cara-cara lebih praktis. Seperti penambahan warna-warni yang secara inderawi visual, sudah meninggalkan unsur maupun nilai-nilai mistis di balik gerga itu. Demikian juga proses pembuatan gerga, awalanya dimulai dengan acara ritual, ketika bersamaan mendirikan rumah adat. Pada acara ini, sesungguhnya yang menyelimuti komis masyarakat Karo sebagai kekuatan mistis. Spiritnya dalam berbagai tindakan dan prilaku sosial maupun keseniannya.sumber:
koran ANALISA 17 MEI 2009 HAL. 14