Bupati saat ini adalah Daulat Daniel Sinulingga. Menurut situs resmi Pemda Kab. Karo terdapat 13 bupati yang memimpin daerah ini sejak zaman kemerdekaan yaitu :
Ngerajai Meliala; -- 1946
Rakutta Sembiring Berahmana; 1946-1955
Abdullah Eteng
Baja Purba
Mayor Matang Sitepu
Baharudin Siregar
Kol. Tampak Sebayang, SH.; 1970-1981
Drs. Rukun Sembiring; 1981-1986
Ir. Menet Ginting; 1986-1991
Drs. Rupai Perangin-angin; 1991-1995
Drs. Daulat Daniel Sinulingga; 1995-2000
Sinar Perangin-angin; 2000-2005
Drs. Daulat Daniel Sinulingga; 2005- 2010
Sabtu, 11 April 2009
Selasa, 07 April 2009
Rumah Adat
Hanya Tinggal Dua Rumah Adat Karo yang Utuh
Kabanjahe, Kompas - Rumah adat Karo di Desa Budaya Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, dalam kondisi memprihatinkan. Dari delapan rumah adat yang tersisa tinggal dua rumah yang kini utuh, lainnya tak terawat dan terancam ambruk.
Pantauan Kompas, Sabtu (16/12), menunjukkan rumah adat yang berumur ratusan tahun itu banyak yang bocor. Bahkan, atap yang terbuat dari ijuk itu melorot. Jika hujan datang, air masuk dan melapukkan kayu-kayu rumah.
Dari delapan rumah itu, tiga rumah masih ditempati sejumlah penyewa dengan biaya ganti sewa pada pemilik rumah senilai 20 kaleng beras atau sekitar Rp 50.000 per tahun. Kepala Desa Lingga, Martin Luter, mengatakan, dua rumah yang utuh adalah hasil renovasi bantuan Pemda Kabupaten Karo 2004. Selain dua rumah, pemda juga merenovasi satu rumah pertemuan dengan biaya sekitar Rp 180 juta.
Problem yang muncul adalah masalah perawatan. Menurut tokoh masyarakat Desa Lingga yang juga Ketua Badan Permusyawaratan Desa Lingga, Pedoman Sinulingga, rumah adat itu akan awet jika ditempati. Selain ada yang merawat, asap pembakaran kayu saat memasak mampu mengusir rayap dan serangga pemakan kayu.
Namun, karena alasan kepraktisan, banyak warga yang kini enggan tinggal di rumah adat. Selain privasi yang terganggu karena tinggal bersama keluarga-keluarga lain, rumah adat juga tidak menyediakan kamar mandi atau kamar kecil.
Ini berbeda dengan para penduduk Nias di Desa Bawomatoluwo, Nias, yang terkenal dengan tradisi lompat batunya. Banyak warga yang menambah bagian belakang rumah adat mereka dengan rumah tembok yang menyediakan kamar mandi dan cuci.
Rumah adat Karo terbuat dari kayu-kayu besar yang oleh penduduk setempat dinamakan kayu Inggul, Ambartua, dan Halibangbang. Satu rumah ditempati oleh 4,8, hingga 16 keluarga. Tersedia tungku-tungku memasak dengan kayu bakar di dalam rumah. Tiap tungku digunakan oleh dua keluarga.
Pintu rumah yang terbuka dari depan dan belakang menunjukkan keterbukaan masyarakat Karo yang memperbolehkan siapa saja masuk ke dalam rumahnya.
Pedoman mengatakan, sekitar tahun 1990-an, tiap hari Desa Lingga dikunjungi 100 orang wisatawan. Ekonomi masyarakat terdongkrak dengan munculnya perajin suvenir ala Karo yang dijual pada wisatawan. Namun kini kunjungan wisatawan tinggal 9-10 orang setiap bulannya.
Martin menyatakan, pemerintah desa setempat tidak bisa membantu pembiayaan renovasi rumah-rumah tersebut karena terhalang oleh kebutuhan dana yang cukup besar. Dirinya berharap, Pemerintah Kabupaten Karo bisa membantu kembali perbaikan rumah-rumah adat yang masih tersisa.
Martin menambahkan, bantuan dana akan sangat berguna untuk melestarikan adat dan budaya masyarakat Karo.
Hanya Tinggal Dua Rumah Adat Karo yang Utuh
Kabanjahe, Kompas - Rumah adat Karo di Desa Budaya Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, dalam kondisi memprihatinkan. Dari delapan rumah adat yang tersisa tinggal dua rumah yang kini utuh, lainnya tak terawat dan terancam ambruk.
Pantauan Kompas, Sabtu (16/12), menunjukkan rumah adat yang berumur ratusan tahun itu banyak yang bocor. Bahkan, atap yang terbuat dari ijuk itu melorot. Jika hujan datang, air masuk dan melapukkan kayu-kayu rumah.
Dari delapan rumah itu, tiga rumah masih ditempati sejumlah penyewa dengan biaya ganti sewa pada pemilik rumah senilai 20 kaleng beras atau sekitar Rp 50.000 per tahun. Kepala Desa Lingga, Martin Luter, mengatakan, dua rumah yang utuh adalah hasil renovasi bantuan Pemda Kabupaten Karo 2004. Selain dua rumah, pemda juga merenovasi satu rumah pertemuan dengan biaya sekitar Rp 180 juta.
Problem yang muncul adalah masalah perawatan. Menurut tokoh masyarakat Desa Lingga yang juga Ketua Badan Permusyawaratan Desa Lingga, Pedoman Sinulingga, rumah adat itu akan awet jika ditempati. Selain ada yang merawat, asap pembakaran kayu saat memasak mampu mengusir rayap dan serangga pemakan kayu.
Namun, karena alasan kepraktisan, banyak warga yang kini enggan tinggal di rumah adat. Selain privasi yang terganggu karena tinggal bersama keluarga-keluarga lain, rumah adat juga tidak menyediakan kamar mandi atau kamar kecil.
Ini berbeda dengan para penduduk Nias di Desa Bawomatoluwo, Nias, yang terkenal dengan tradisi lompat batunya. Banyak warga yang menambah bagian belakang rumah adat mereka dengan rumah tembok yang menyediakan kamar mandi dan cuci.
Rumah adat Karo terbuat dari kayu-kayu besar yang oleh penduduk setempat dinamakan kayu Inggul, Ambartua, dan Halibangbang. Satu rumah ditempati oleh 4,8, hingga 16 keluarga. Tersedia tungku-tungku memasak dengan kayu bakar di dalam rumah. Tiap tungku digunakan oleh dua keluarga.
Pintu rumah yang terbuka dari depan dan belakang menunjukkan keterbukaan masyarakat Karo yang memperbolehkan siapa saja masuk ke dalam rumahnya.
Pedoman mengatakan, sekitar tahun 1990-an, tiap hari Desa Lingga dikunjungi 100 orang wisatawan. Ekonomi masyarakat terdongkrak dengan munculnya perajin suvenir ala Karo yang dijual pada wisatawan. Namun kini kunjungan wisatawan tinggal 9-10 orang setiap bulannya.
Martin menyatakan, pemerintah desa setempat tidak bisa membantu pembiayaan renovasi rumah-rumah tersebut karena terhalang oleh kebutuhan dana yang cukup besar. Dirinya berharap, Pemerintah Kabupaten Karo bisa membantu kembali perbaikan rumah-rumah adat yang masih tersisa.
Martin menambahkan, bantuan dana akan sangat berguna untuk melestarikan adat dan budaya masyarakat Karo.
Langganan:
Postingan (Atom)